AJI Balikpapan Ajak Pemuda Bebas Berekspresi dengan Prinsip ‘Saring Sebelum Sharing’

BALIKPAPAN, inibalikpapan.com – Dalam era digital saat ini, penyebaran informasi melalui media sosial telah menjadi hal yang umum. Namun, tanpa literasi digital seperti proses penyaringan yang baik, informasi yang beredar bisa menjadi sumber hoaks dan misinformasi.

Hal ini menjadi topik utama dalam seminar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan di Universitas Mulia Balikpapan pada Selasa, 28 Mei 2024.

Lebih dari 100 mahasiswa dari berbagai kampus di Balikpapan mengikuti seminar bertajuk “Menjaga Demokrasi dengan Penyebaran Informasi Bermutu” tersebut. Acara ini menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Novi Abdi (jurnalis dan ahli pers), Hanna Pertiwi (pegiat media sosial), dan Fathul Huda (Direktur LBH Samarinda).

Novi Abdi, seorang jurnalis berpengalaman, mengangkat analogi kegiatan berbagi informasi dengan sifat kenabian, yang mencakup penyampaian pesan, bisa dipercaya, jujur, dan cerdas.

“Hanya informasi berkualitas yang bisa publik percaya dan bisa memberi manfaat. Sehingga agar informasinya bisa dapat kepercayaan, maka orang yang membagikan informasi harus jujur,” kata Novi.

Ia menambahkan bahwa kejujuran dan kecerdasan dalam menyampaikan informasi adalah kata kunci. “Kepintaran hanya bisa kita capai dengan banyak berlatih, belajar, dan mawas diri,” sebutnya.

Hanna Pertiwi juga menekankan pentingnya berbagi konten di media sosial secara bertanggung jawab. Ia mengingatkan bahwa menyaring informasi sebelum membagikannya adalah langkah penting untuk memastikan kebenaran konten.

“Publik harus menyaring informasi terlebih dahulu sebelum membagikannya di media sosial. Ini membantu mencegah penyebaran hoaks dan memastikan informasi yang kita bagikan dapat kepercayaan dan bermanfaat,” ujar Hanna.

Harus Tetap Bebas Berekspresi

Seminar ini juga menyoroti dampak dari revisi UU Penyiaran yang sedang ramai jadi pembahasan. Ketua AJI Balikpapan, Teddy Rumengan, mengkritik revisi tersebut karena membatasi kebebasan pers dan berekspresi.

“Revisi UU Penyiaran ini mengancam kebebasan mahasiswa dan pekerja kreatif di media sosial, karena ada aturan yang mengawasi dan mengontrol konten yang mereka buat,” jelas Teddy.

Fathul Huda mengingatkan bahwa ada penyempitan ruang gerak bagi masyarakat sipil. Terutama terkait dengan beberapa pasal dalam UU ITE yang rentan mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah.

“Meskipun ada ancaman ini, publik harus tetap berani berpikir kritis dan memastikan bahwa informasi di media sosial bersifat rasional dan ilmiah,” ujar Fathul.

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.