AJI Surabaya Dukung Polda Jatim Menindak Anggotanya yang Menghalangi Kerja Jurnalis
SURABAYA, Inibalikpapan.com – Polda Jatim akan mulai melakukan pemeriksaan terhadap dua anggota polisi yang melakukan penganiayaan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi.
Dua pelaku tersebut yakni Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi, oleh Pengadilan Negeri Surabaya telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana terhadap Nurhadi.
Fatkhul Khoir, salah satu pengacara Nurhadi mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap Nurhadi akan dilakukan awal pekan ini. Pemeriksaan ini akan diawali dengan meminta keterangan dari Nurhadi.
“Kami sudah mendapat undangannya dan akan hadir,” ujar Fatkhul Khoir, Senin (28/3/2022).
Fatkhul Khoir mengapresiasi komitmen Polda Jatim untuk menuntaskan perkara ini. Apalagi, Purwanto dan Firman Subkhi sudah dinyatakan terbukti bersalah melanggar UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, oleh Pengadilan Negeri Surabaya.
Putusan bersalah itu dibacakan majelis hakim PN Surabaya pada 12 Januari 2022. Keduanya divonis 10 bulan penjara. Lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 1 tahun dan 6 bulan penjara.
“Sebenarnya kami sudah menunggu lama agar Provost Polda Jatim mengusut pelanggaran disiplin oleh anggotanya ini. Tetapi kami tetap mengapresiasi meski ini baru dilakukan sekarang, setelah ada vonis dari Pengadilan Negeri Surabaya,” imbuhnya.
Pria yang akrab dipanggill Djuir ini berharap Polri memberikan hukuman yang setimpal kepada Purwanto dan Firman Subkhi. Selain agar menjadi pelajaran bagi polisi lainnya supaya tak melakukan kekerasan terhadap jurnalis, juga supaya citra Polri menjadi lebih baik.
“Berdasarkan PP nomor 2 tahun 2002 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, kewajiban polisi adalah taat pada semua peraturan perundang-undangan serta turut memelihara ketertiban umum,” ucap Djuir.
“Nah, pengadilan kan sudah menyatakan keduanya terbukti bersalah melakukan tindak pidana terhadap Pers, sehingga sudah jelas di sini ada pelanggaran terhadap PP tersebut. Yang mereka lakukan ini mencoreng citra Polri,” sambungnya.
Sebelumnya pada 27 Maret 2021, jurnalis Tempo Nurhadi dianiaya sekelompok orang saat meliput di Gedung Samudra Bumimoro yang terletak di Jl Moro Krembangan, Kecamatan Krembangan, Surabaya, Jawa Timur.
Saat itu, Nurhadi mendatangi gedung tersebut untuk melakukan investigasi terkait kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu, Angin Prayitno Aji yang sedang ditangani KPK.
Di lokasi tersebut sedang berlangsung resepsi pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji dan anak Kombes Pol Achmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.
Saat itu, Nurhadi yang kedapatan memotret Angin Prayitno Aji yang sedang berada di atas panggung pelaminan, kemudian ditarik, dipiting, dipukul oleh beberapa orang lalu dibawa ke gudang di belakang tempat resepsi.
Di sana, dia disekap, diinterogasi, dan dipaksa membuka isi ponselnya. Seluruh data di ponsel dihapus dan simcard HP Nurhadi dirusak.
Selain itu, pelaku juga membawa Nurhadi ke sebuah hotel dan memaksa Nurhadi untuk memastikan bahwa foto yang dia ambil di lokasi resepsi tidak sampai dipublikasikan di Tempo.
Kasus ini kemudian bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya setelah dilaporkan ke Polda Jatim oleh Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis yang digawangi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AJI Surabaya, Federasi KontraS, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya.
Pada 12 Januari 2022, Purwanto dan Firman Subkhi akhirnya divonis 10 bulan penjara karena dinilai bersalah melanggar pasal 18 auat (1) UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Selain divonis 10 bulan penjara, dua terdakwa juga diwajibkan membayar restitusi kepada Nurhadi sebesar Rp 13.813.000 dan kepada saksi F sebesar Rp 21.850.000.
Vonis terhadap dua terdakwa ini lebih ringan dari tuntutan JPU yakni 1 tahun 6 bulan penjara.
Terkait vonis tersebut, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer,menganggap bahwa vonis tersebut mencederai rasa keadilan bagi jurnalis.
“Seharusnya hakim mempertimbangkan status pelaku yang merupakan anggota Polri. Menurut saya, itu dapat menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat,” kata Eben Haezer.
BACA JUGA