Catatan : Kekerasan dan Upah Murah Jurnalis, Meluruskan HPN
BANJARMASIN – KEKERASAN terhadap jurnalis dan upah layak harusnya menjadi pekerjaan besar yang harus diselesaikan oleh pegiat pers, pemangku kebijakan, serta aparat penegak hukum. Namun, sudahkah isu ini menjadi sorotan, dalam perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2020?
Mengambil momentum perayaan HPN 2020 di Kalimantan Selatan yang kali ini mengangkat tema “Pers Menggelorakan Kalimantan Selatan Gerbang Ibu Kota Negara”, dua problem itu masih menjadi topik yang amat jauh dibahas secara spesifik.
Ketimbang memilih topik krusial tersebut, pemerintah dan penyelenggara HPN justru masih berkutat dengan pembahasan isu-isu umum kewartawanan; paling mentok isu kemerdekaan pers.
HPN kali ini bertabur acara-acara yang bersifat pada sebagian sisi juga hanyalah seremoni belaka. Tak ada pernyataan dari para petinggi negara yang menyentil komitmen untuk dua persoalan itu.
Padahal, dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat 53 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi sepanjang 2019 lalu. Dalam catatan tersebut, kasus kekerasan masih didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus.
Setelah itu, diikuti oleh perusakan alat atau data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan atau teror (6 kasus), pemidanaan atau kriminalisasi (5 kasus), pelarangan liputan (4 kasus).
Hasil monitoring AJI, polisi mendominasi dengan angka mencapai 30 kasus. Pelaku kekerasan terbanyak kedua adalah warga (7 kasus), organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan (6 kasus), orang tak dikenal (5 kasus).
Sebagian besar kasus kekerasan itu terjadi selama demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu 20-21 Mei 2019 dan demonstrasi mahasiswa 23-30 September 2019 lalu.
Menurut identifikasi yang dilakukan AJI, serta verifikasi yang dilakukan oleh Komite Keselamatan Jurnalis, pola dari kasus kekerasan itu sama: pelakunya polisi, penyebabnya adalah karena jurnalis mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan mereka.
Di Kalimantan Selatan, intimidasi terhadap pers sempat terjadi sepanjang satu dekade terakhir. Paling terbaru, ada kasus Diananta Putra Sumedi, pimpinan banjarhits.id partner resmi kumparan 1001 media- yang dipolisikan karena pemberitaan konflik lahan sawit dan masyarakat adat. Nanta dilaporkan karena muatan berita itu dinilai berpotensi memicu konflik antarsuku agama, atau ras (SARA).
Mundur ke belakang, ada juga kasus kekerasan lain berupa fisik yang melibatkan jurnalis Radar Banjarmasin, Zalyan S. Abdi. Zal, sapaannya, menerima pukulan dari politikus Tanah Bumbuu yang tak terima atas beritanya yang terkait bisnis tambang batu bara, pada 2016 silam.
Lebih jauh, ada M Yusuf, jurnalis Kemajuan Rakyat yang dipolisikan oleh korporasi hingga meninggal dunia dalam tahanan, medio Juni 2018 silam.
Tiga kasus ini hanya secuil dari pengalaman para jurnalis mengalami represi selama di lapangan. Untuk menyelesaikan persoalan sedemikian itu, harusnya mereka yang tak terima dengan pemberitaan cukup memakai mekanisme yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Dewan Pers. Bukan malah menyeret wartawan pada pusaran kekerasan.
Selain isu kekerasan terhadap jurnalis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Perwakilan Kalimantan Selatan juga tidak melihat ada pembahasan spesifik mengenai problem upah murah yang masih diterima para jurnalis.
Berdasarkan pantauan AJI di Banjarmasin, di lingkup Kalsel, tercatat ada perusahaan pers yang masih menggaji wartawan dengan rentang Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta. Upah Minimum Provinsi Kalsel sendiri kini mencapai Rp. 2.877.448. Jauh dari standar, hanya secuil media yang menggaji setara UMP atau lebih dari upah minimum.
Padahal, kebutuhan jurnalis sangatlah kompleks. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, pakaian, dan hiburan, mereka juga harus memenuhi ongkos teknis seperti biaya transportasi lapangan, perawatan laptop, ponsel berikut pulsa dan paket data.
Dengan upah di rentang tersebut, Kami meyakini wartawan tak bisa memenuhi kebutuhannya secara utuh. Alih-alih berlaku profesional, mereka harus putar otak untuk mencari tambahan penghasilan di luar kerja-kerja jurnalistik.
Meluruskan Sejarah HPN
SETIAP tahun, Hari Pers Nasional (HPN) dijadikan sebagai momentum perayaan kehadiran dan peranan pers di Indonesia. Namun, jika ditilik sejarahnya penetapan HPN ini boleh disebut sarat kepentingan dan tak punya pijakan historis yang kuat. Mengapa demikian?
Mengacu catatan sejarah, perlu diketahui gagasan penetapan HPN hanya bersandar pada hasil pembahasan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menjadi organisasi profesi yang dominan ketika orde baru. Ide memunculkan HPN itu tertuang dalam Kongres PWI ke-28 di Padang pada 1978.
Hal ini pun kemudian dikemukakan lagi dalam sidang Dewan Pers ke-21 yang diselenggarakan di Bandung pada 19 Februari 1981. Setelah disetujui, usulan tersebut disampaikan pada pihak pemerintah melalui perpanjangan tangan Dewan Pers.
Proses usulan memang panjang, tapi tidak sia-sia. Setelah sekitar tujuh tahun berlalu, akhirnya pada 9 Februari ditetapkan secara resmi oleh pemerintah Orde Baru sebagai HPN. Penetapan HPN sendiri dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985.
Sejak penetapan 9 Februari itu, peringatan HPN diselenggarakan setiap tahun di ibu kota provinsi se-Indonesia secara bergilir dengan mengusung tema yang berbeda-beda.
Pada 2020, Kalimantan Selatan dipilih menjadi tuan rumah peringatan HPN dengan mengangkat tema “Pers Menggelorakan Kalimantan Selatan Gerbang Ibu Kota Negara”
Penetapan HPN dengan seperti itu tak punya pijakan sejarah kokoh. Sebab, jika ingin lebih adil, harusnya momentum pengesahan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers yang lebih cocok dijadikan sebagai tanggal bersejarah. Regulasi ini disahkan pada 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie.
Pertimbangan besarnya, usai pengesahan UU Pers, sejumlah perubahan penting pada praktik jurnalisme juga terjadi. Media massa terus bertumbuh. Tak lagi terkekang penyensoran dan pembredelan seperti era Orde Baru.
Sejumlah regulasi Orde Baru di bidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47/1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Selain itu, perlu diketahui PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum PWI didirikan pada 9 Februari 1946, sejumlah organisasi wartawan telah berdiri. Dan menjadi wadah organisasi para wartawan di zaman Belanda.
Organisasi wartawan yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara.
Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial.
AJI Balikpapan, dan IJTI Kalsel mengusulkan setiap 23 September diperingati sebagai HPN karena memiliki historis. Serta lebih netral terhadap seluruh konsituen kewartawanan di Indonesia.
HPN mestinya menjadi momentum bersejarah bagi Pers Nasional yang dipikirkan benar berdasar latar belakang historis perjalanan pers nasional Indonesia. (*)
Sumber aji.or.id
BACA JUGA