Catatan Kritis KontraS Terkait Rencana Pemberian Amnesti Bagi Sekitar 44 Ribu Naarapidana

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) / IST
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) / IST

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritisi rencana Pemerintah memberikan amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana di seluruh Indonesia.

Rencana pemberian amnesti tersebut sebelum disampaikan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai, dan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra pada Jumat, 13 Desember 2024.

Kebijakan amnesti ini diusulkan sebagai solusi untuk mengatasi masalah overkapasitas di lembaga pemasyarakatan (lapas), dengan alasan kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi.

Pemerintah menargetkan empat kategori narapidana yang akan menerima amnesti, yakni narapidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait penghinaan kepada kepala negara

Lalu narapidana yang menderita gangguan mental atau penyakit berkepanjangan, narapidana dengan kasus makar non-bersenjata di Papua, dan narapidana kasus narkotika.

Dalam siarang persnya, Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menyatakan, kebijakan pemberian amnesti dianggap tidak cukup untuk menyelesaikan akar permasalahan dalam sistem hukum dan pemasyarakatan Indonesia.

Overcrowded Lapas: Akibat Regulasi yang Punitif

Dimas Bagus Arya menegaskan bahwa masalah overkapasitas lapas di Indonesia merupakan dampak langsung dari regulasi yang cenderung punitif dan mengutamakan pendekatan pemenjaraan.

Salah satu contohnya adalah UU ITE, yang sering kali dianggap terlalu luas dan ambigu, dengan pasal-pasal yang dapat disalahgunakan untuk menghukum individu atas opini atau kritik terhadap pejabat publik, termasuk kepala negara.

Selain itu, UU Narkotika yang masih mengutamakan penahanan dan hukuman penjara bagi pengguna narkoba, ketimbang rehabilitasi, turut memperburuk kondisi overcrowded di lapas.

Menurutnya, meskipun amnesti bisa memberikan solusi jangka pendek terhadap masalah ini, kebijakan tersebut tidak menyentuh akar permasalahan, yaitu sistem hukum yang lebih mengutamakan hukuman penjara ketimbang alternatif non-punitif seperti rehabilitasi atau keadilan restoratif.

BACA JUGA :

Reformasi Sistem Hukum Pidana dan Pendekatan Non-Punitif

KontraS menyarankan agar kebijakan amnesti ini disertai dengan langkah-langkah reformasi hukum yang lebih fundamental. Dimas mengingatkan bahwa pemberian amnesti massal ini haruslah menjadi bagian dari upaya lebih besar dalam mengubah paradigma hukum pidana di Indonesia.

“Sistem peradilan pidana yang terlalu mengutamakan hukuman penjara harus berubah, dan keadilan restoratif harus mulai diberlakukan untuk tindak pidana tertentu,” tegasnya.

Dengan kata lain, KontraS mendorong agar penegakan hukum lebih berfokus pada rehabilitasi, mediasi, dan solusi yang bersifat pemulihan, bukan sekadar menghukum pelaku.

Lebih lanjut, KontraS juga menyoroti bahwa pemberian amnesti tanpa reformasi hukum yang lebih luas hanya akan menciptakan kesan bahwa pemerintah hanya mencari solusi instan untuk masalah overcrowded di lapas tanpa mengubah pola penegakan hukum yang selama ini dinilai tidak efektif.

Pemberian amnesti massal dapat dianggap sebagai langkah populis yang tidak menyelesaikan masalah struktural dalam sistem peradilan pidana.

Reformasi Pemasyarakatan: Perbaikan Kondisi Fasilitas Lapas dan Kesehatan Warga Binaan

Selain isu terkait hukum, KontraS juga menekankan pentingnya perhatian terhadap kondisi fasilitas pemasyarakatan yang selama ini dinilai belum memadai.

Dimas menyebutkan bahwa lapas di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan, mulai dari fasilitas yang terbatas, hingga masalah kesehatan fisik dan psikologis warga binaan.

“Reformasi lembaga pemasyarakatan tidak akan selesai hanya dengan amnesti, tapi harus melibatkan perbaikan menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan, termasuk kondisi fisik lapas dan kesejahteraan narapidana,” tambah Dimas.

Menurut KontraS, kondisi overcrowded di lapas tidak hanya berisiko bagi kesehatan narapidana, tetapi juga berdampak pada stabilitas sosial dan psikologis mereka.

Tanpa adanya perhatian serius terhadap rehabilitasi, fasilitas, dan sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi, pemberian amnesti bisa menjadi sia-sia karena narapidana yang dibebaskan tetap akan menghadapi berbagai kesulitan dalam reintegrasi sosial.

Amnesti Tanpa Pembaruan Sistem Peradilan Pidana dan Pemasyarakatan

Secara keseluruhan, KontraS memandang pemberian amnesti sebagai langkah yang baik untuk memberikan keadilan kemanusiaan bagi narapidana tertentu, namun harus diikuti dengan upaya untuk memperbaiki sistem peradilan pidana dan pemasyarakatan secara menyeluruh.

Tanpa adanya reformasi yang lebih mendalam dalam sistem hukum dan fasilitas pemasyarakatan, kebijakan amnesti ini berpotensi hanya menjadi langkah temporer yang tidak menyelesaikan masalah jangka panjang.

Reformasi sistem peradilan pidana dan pemasyarakatan yang lebih baik, berfokus pada pendekatan non-punitif dan keadilan restoratif, harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar membawa perubahan positif. Dengan demikian, meskipun amnesti dapat memberikan solusi terhadap overcrowded di lapas, KontraS menekankan bahwa langkah tersebut harus disertai dengan perubahan yang lebih luas dalam sistem hukum dan peradilan pidana Indonesia untuk memastikan tercapainya keadilan yang sejati.

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.