Dampak Kenaikan PPN 12 Persen: Masyarakat Kelas Menengah ke Bawah Terancam Terbebani
JAKARTA, Inibalikpapan.com – Sejumlah ekonom memproyeksikan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan diberlakukan mulai tahun 2025, dapat memberikan tekanan signifikan pada masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Para ahli mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini demi menjaga stabilitas daya beli masyarakat.
Proyeksi Dampak Kenaikan PPN pada Masyarakat
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Galau D Muhammad, menjelaskan bahwa kenaikan PPN ini akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga, terutama di kelas menengah dan bawah.
“Jika dihitung, kelas menengah akan mengalami tambahan pengeluaran sekitar Rp354.000 per bulan. Dalam setahun, pada 2025, total beban tambahan ini bisa mencapai Rp4.251.000 per rumah tangga,” ujar Galau dalam wawancara dengan VOA Indonesia, dikutip inibalikpapan.
Ia menambahkan, meskipun kenaikan PPN hanya satu persen, dampaknya pada harga barang dan jasa bisa mencapai 5 hingga 9 persen. Hal ini akan memaksa masyarakat mengurangi konsumsi barang-barang non-esensial seperti hiburan dan perjalanan.
Sementara itu, bagi masyarakat miskin dengan pendapatan rata-rata Rp500.000 per bulan, kenaikan ini diperkirakan menambah beban pengeluaran hingga Rp100.000 setiap bulan. Bahkan, bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah dinilai tidak cukup untuk mengimbangi dampak kebijakan ini.
Efek pada UMKM dan Kelas Menengah
Galau menyoroti bahwa kondisi perekonomian saat ini belum pulih sepenuhnya, dengan omzet UMKM pada 2024 yang turun hingga 60 persen. Kebijakan kenaikan PPN dianggap bisa memperburuk situasi ini.
“Ketika konsumsi dikenakan pajak lebih tinggi, pola konsumsi masyarakat akan berubah. Barang-barang di pasar akan semakin mahal, sementara daya beli masyarakat menurun. Industri yang bergantung pada konsumsi domestik akan menghadapi tantangan besar,” jelasnya.
Muhammad Faisal, ekonom dari CORE Indonesia, menambahkan bahwa kenaikan PPN ini juga akan membebani masyarakat kelas menengah. Barang sekunder seperti pakaian, yang biasanya menjadi konsumsi utama kelas menengah, akan terkena dampak langsung.
“Kelas menengah sudah menghadapi kesulitan dengan disposable income mereka. Dengan PPN 12 persen, pengeluaran mereka untuk barang tahan lama akan menurun, tabungan berkurang, dan potensi pinjaman online meningkat,” ujarnya.
Faisal juga menekankan pentingnya insentif bagi kelas menengah untuk mengembalikan daya beli mereka ke kondisi sebelum pandemi COVID-19. Sayangnya, bantuan seperti subsidi listrik hanya diberikan dalam jangka waktu singkat, sehingga dampaknya tidak cukup signifikan.
Kritik terhadap Kebijakan Kenaikan PPN
Ekonom Yusuf Wibisono dari Next Policy menyebut kebijakan ini sebagai “jalan pintas” untuk meningkatkan penerimaan pajak, yang dalam satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, ia mempertanyakan efektivitasnya.
“Pendapatan tambahan dari kenaikan PPN hanya mencapai tiga persen dari PDB. Ini tidak sepadan dengan biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung masyarakat, termasuk melemahnya daya beli, inflasi, dan meningkatnya kesenjangan sosial,” ungkap Yusuf.
PPN, menurutnya, bersifat regresif karena memberlakukan tarif yang sama tanpa memperhatikan tingkat pendapatan konsumen. Hal ini akan membuat masyarakat miskin menanggung beban pajak yang lebih besar dibandingkan orang kaya, sehingga memperburuk kesenjangan ekonomi.
Rekomendasi untuk Pemerintah
Para ekonom sepakat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan ulang kebijakan kenaikan PPN 12 persen. Beberapa langkah alternatif yang dapat diambil.
Diantaranya, Menunda atau membatalkan kenaikan PPN, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil. Meningkatkan insentif untuk UMKM agar omzet mereka dapat pulih.
Memberikan subsidi yang lebih panjang dan efektif untuk kelas menengah dan bawah. Menggali potensi penerimaan pajak lain, seperti optimalisasi Pajak Penghasilan (PPh) untuk kalangan atas.
Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, pemerintah dapat mengurangi dampak negatif pada perekonomian dan memastikan masyarakat tetap memiliki daya beli yang memadai. Kebijakan yang berpihak pada masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
BACA JUGA