Diduga Dikriminalisasi, Seorang Notaris di Balikpapan Kirim Surat ke Presiden
BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com —Seorang notaris di Balikpapan meminta keadilan kepada Presiden Jokowi atas kasus pidana yang tidak pernah dilakukan dengan tuduhan penggelapan sertifikat yakni pasal 327 KUHP. Tuduhan penggelapan akta jual beli tanah dilakukan oleh kliennya yang kini menjadi lawan hukumnya.
Permintaan keadilan ini disampaikan dalam surat tertulis yang akan dikirimkan ke presiden atas kasus yang dialami Notaris atas nama Arifin Samuel Candra.
Kasus ini berawal dari sengketa perdata antara pengusaha Balikpapan berinisial J dengan rekan bisnis juga pengusaha berinisial AHR juga dari Balikpapan pada 2017 lalu.
Waktu itu, AHR menitipkan 3 sertifikat HGB asli milik AHR kepada Notaris Arifin Samuel Candra pada Des 2016 dan Januari 2017 lalu. Penitipan ini untuk dilakukan pembuatan akte jual beli tanah dari pemilik asli AHR ke nama pengusaha J untuk dibalik nama (akte jual beli). Dan dibuatkan juga kembali akte perikatan jual beli dan kuasa menjual ke AHR guna keperluan modal usaha perusahaan/SKBDN yang di dirikan bersama yaitu PT. OceanPerkasa energi Katulistiwa (OPEK). Namun tidak terjadi di balik nama karena modal usaha perusahaan/ SKBDN dan diserahkan kembali kepada AHR. Karena AJB yang dikeluarkan kantor notaris Arifin Samuel Candra sudah dibatalkan pengadilan.
Sebab, pengusaha AHR (bersengketa dengan J) pada 2018 melakukan gugatan terhadap pembuatan tiga AJB yang dimenangkan AHR. Dari 3 AJB yang dibatalkan sudah inkrah. karena sudah ikrah, notaris Candra tidak menyerahkan sertifikat itu kepada J namun dikembalikan kepada AHR karena sudah memenangkan gugatan.
Putusan pembatalan AJB itu dikeluarkan PN Balikpapan pada 2018 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Samarinda pada 2019 yang tidak dapat menerima permohonan banding dari klien J.
J merupakan pengusaha Balikpapan yang merasa keberatan atas sikap notaries Candra yang dituding menggelapkan sertifikat. J akhirnya melaporkan Notaris Candra ke Mabes Polri pada 13 Maret 2018 lalu. Puncaknya pada 11 April 2019, penyidik Bareskrim Polri mendatangi kantor Notaris milik Arifin Samuel Candra dan menggeledah kantor lalu membawa Candra ke Jakarta kemudian ditahan selama 21 hari.
Samuel Arifin Candra yang menjadi tahan rumah ini kini menjadi terdakwa mengaku bingung harus kemana lagi melaporkan ketidakadilan dan dugaan kriminilisasi selain ke presiden.
“Karena harus minta keadilan karena tidak tau lagi minta keadialan sama siapa? Karena saya diarahkan salah. Kalau saya melakukan, dihukum saya menerima. Tapi kalau dihukum tapi tidak melakukan saya tidak bisa menerima itu. Saya minta kalau bisa itu sampai ke presiden biar bisa menilai apakah kasus ini saya bersalah atau tidak,” katanya kepada media, di kantor kompleks Balikpapan Baru, Minggu siang (19/1/2020).
Permohonan keadilan ini didasari dengan adanya surat edaran dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia nomor B230/E/Ejp/01/2013 perihal penanganan perkara pidana umum yang objeknya berupa tanah menghimbau apabila instansi kejaksaan menerima perkara pidana /SPDP dari penyidik yang objeknya berupa tanah harus diatensi secara sungguh-sungguh dan kejelian jaksa dalam meneliti sehingga apabila kasus tersebut merupakan objek sengketa perdata tidak selayaknya dipaksakan untuk digiring ke ranah pidum dan tidak tergesa-gesa menerbitkan P-21 serta apabila terdapat adanya gugatan perdata maka perkara pidum yang bersangkutan ditangguhkan / dipending menunggu putusan perdatanya.
Kedua yakni Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 1956 dalam pasal 1 tertulis apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua belah pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata tersebut.
Arifin Samuel Candra sempat ditahan di Polda Metro dan Mabes Polri selama 21 hari pada Maret 2018 lalu dan kemudian titipkan ke rutan Balikpaan selama 22 hari masih pada tahun yang sama. Bahkan sekarang kasus ini masih berlanjut dan telah menjalani persidangan di PN Balikpapan dengan tututan 4 tahun penjara.
“Kasus ini tetap berjalan dan jadi beban saya bersama keluarga. Kasus ini sudah menyeret saya dan sudah dituntut 4 tahun di PN Balikpapan,” ungkapnya.
Dia menilai kasus yang membelitnya ini terkesan dipaksakan. “Kemudian kasus ini berjalan sangat lama hampir 1 tahun baru saya ditetapkan sebagai tersangka, SPDP tidak pernah saya terima langsung sampai sekarang tapi diterima orang yang tidak dikenalnya, banyak berkas-berkas bukti fakta kami yang tidak dipakai atau diabaikan oleh penyidik Bareskrim sehingga semua hal diatas dipaksakan menggiring saya pada kasus penggelapan pasal 372 KUHP dan banyaknya tekanan dan kesan menyalahkan dari penyidik saat meminta BAP,” bebernya.
Warga Mekarsari Balikpapan ini juga menyatakan kasus yang dialami ini berawal dari keteguhannya untuk bersikap netral pada profesi yang dijalani sehingga salah satu kliennya marah karena tidak mau berpihak.
“Klien yang melaporkan saya ke polisi, saat ini tengah menjalani masa tahanan di Rutan Kelas II Balikpapan dengan kasus berbeda dengan pihak lain,” tukasnya.
BACA JUGA