Hari Anak Nasional, ABK Belum Merdeka, Mereka Perlu Belajar dan Mendapat Perhatian
BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Rafi Rena usianya kini sudah menginjak 9 tahun lebih. Dia merupakan salah seorang anak yang masuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus (ABK).
Disebut Rena karena dia suka menonton sinetron melalui channel khusus di android saat malam hari. Disitu, ada pemeran bernama Rena sebagai gadis kecil hampir seusianya.
Rafi menderita Cereball Palsy. Dia mengalami gangguan disaraf otaknya sehingga tidak bisa mengucapkan secara jelas dan berjalan normal. Namun dia masuk kategori ABK pintar karena bisa berkomunikasi dan paham untuk menjelaskan sesuatu.
Hingga hari ini, Rafi tidak bisa menikmati hak pendidikan selayaknya anak lain diusianya yang harusnya menginjak kelas 3.
Ya dunia pendidikan saat ini baginya dan kawan senasib di komunitas ABK menjadi hal sulit untuk dinikmati.
Kesehariannya selain miting (nonton Sinetron), jika ada waktunya dia solat di masjid bareng Abahnya. Selebihnya banyak dihabiskan bersama ibunya.
Kegiatan ibunya yakni mengantar anak orang lain ke sekolah, mengantar pesanan kue dari teman atau orang lainya. Maklum ibunya jago buat kue-kue kering dan basah tapi masih dalam jumlah terbatas.
Rafi Rena menjadi anak yang kuat dan periang meski kadang mudah tersinggung. Bahkan setiap ketemu abahnya selalu ditanyakan. Apa kabar Rafi Rena? Apakah tetap semangat? Jawabnya “Semangat bah,” ucapnya dengan kalimat yang sulit dipahami jika orang lain mendengarnya.
Orangtuanya termasuk saudaranya berharap Rafi Rena bisa sekolah seperti yang nikmati rekan seusia di sekolah ABK namun di Balikpapan itu belum sepenuhnya ada. Mungkin, kalaupun biayanya mahal sekali.
Sementara UPTD yang kelola Dinas Kesehatan Kota Balikpapan adalah UPTD Balai Kesehatan Layanan Anak Berkebutuhan Khusus. Itu adalah layanan kesehatan seperti layanan fisioterapi , layanan sensori integrasi , terapi wicara dan lain-lain terkait kesehatannya.
“Jadi kami melatih kesehatan fisik dan mental anak agar mampu melakukan aktivitas sehari-hari, mampu bersosialisasi berinteraksi sosial, “terang Kepala DKK dr Andi Sri Juliarti kepada inibalikpapan.com, Minggu (31/7).
Misalnya melatih dan menguatkan otot-otot motorik dan sensorik tangan dan jari-jarinya agar mampu memegang pensil / pulpen dengan benar.
“Mampu memasang kancing bajunya , mampu memakai sepatu sendiri. Sehingga siap bersekolah, ” tambah dr yang akrab disapa dr Dio.
Keberadaan UPTD ini lebih pada layanan kesehatan ABK yang bisa bersinergi dengan layanan pendidikan ABK.
“Tetapi kami bukan layanan pendidikan. Melatih memusatkan konsentrasi anak itu bisa di kami,” tandasnya.
Diakui dr Dio, kadang orang tua dan masyarakat memang salah kaprah mengira UPTD itu layanan pendidikan sehingga berharap anaknya bisa baca tulis di layanan kami.
“Padahal bukan seperti itu. Tidak ada kelas-kelas ruang belajar ditempat kami. Yang kami sediakan adalah ruang-ruang terapi pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus, ” terangnya.
Pemkot Balikpapan memang memiliki SLB yang kelola UPTD di Jalan MT Haryono Dalam, Bj BJ. Hanya saja, mereka tidak cocok jika ditempatkan di sana. Mungkin perlu menambah SDM guru yang khususnya ABK seperti Rafi Rena dan teman-temannya.
“Pernah di sana beberapa hari tapi dia malah sulit komunikasi. Malah gak bisa apa-apa karena dicampur dengan anak SLB lainya,” tutur Nuri Ibu Rafi Rena.
“Perlu guru khusus untuk ABK gak bisa disamakan dengan anak-anak SLB,” tambah Nuri.
Selain SLB Negeri, Kota Balikpapan juga terdapat SLB yang dikelola swasta di Balikpapan yakni SLB Tunas Bangsa, Sekolah Khusus Santo, SLB Darma Kencana.
“Kemarin itu melimpah. Kita tidak seleksi pokonya satu minggu yang daftar kita terima semua. Kalau yang terlambat daftar kita arahkan ke SLB lainya dekat rumah mereka,” kata Kepala SLB Balikpapan Mulyono, Minggu (31/7).
ABK katanya diantaranya Autis, Tuna Netra, Tuna Rungu Wicara, Grahita, Tuna Daksa/hambatan Fisik, Down Sindrom, Hyperaktif dan tuna ganda. “Itu masuk semuanya,” bebernya.
Mulyono menyatakan orang tua wajib menyekolahkan namun jika orang tua kesulitan pemkot punya asrama yang dikelola dinas sosial.
“Anak-anak gelandangan, pengamen termasuk berkebutuhan khusus itu dimasukan saja ke dinas sosial. Ada asramanya, sekolahnya di SLB. Daya tampung asrama itu 19 anak,” sebutnya.
Selain SLB, pemerintah daerah juga memiliki UPTD untuk anak kebutuhan khusus jalan Mufakat Balikpapan Selatan. Hanya saja itu tidak bisa melayani untuk pendidikan ABK melainkan lebih pada terapi anak.
Masih menurut Nuri yang pernah Menjadi Ketua Komunitas ABK Istimewa, banyak dari orang tua yang memiliki ABK masuk kategori keluarga tidak mampu. Jumlah ABK di Balikpapan yang pernah tercatat di dalam komunitas sekitar 40 anak.
“Ragi pernah terapi bukan sekolah ya di Jalan Mufakat. Disitu terapi gak bisa banyak digabungkan dengan anak-anak lainya. Paling dua –tiga anak saja satu terapis. Kalau kita cari diluar(swasta) mahal sekali,” katanya yang pernah bekerjasama dengan perusahaan mendapatkan bantuan sepatu khusus ABK.
Beda Rafi dengan ABK kategori ADHD (Attention-deficit hyperactivity disorder) adalah istilah medis untuk gangguan mental yang ditandai dengan perilaku impulsif dan hiperaktif. Kita sebut namanya AA. Beruntung, berasal dari keluarga cukup mampu. Sehingga anaknya disekolahkan di swasta.
“Baru tahun ini masuk. Di sekolah dijaga pembimbing satu orang khusus awasi dia,” ucap Agus sang Ayah.
Soal biaya jangan ditanya, butuh Rp 2 juta perbulan untuk memenuhi hak pendidikan sang buah hati. “Dia ngomong cukup bisa lah cuma gak bisa diam. Harus dijaga. Sering naik-naik lemari dan pernah jatuh tapi tidak apa-apa,” katanya.
Hak mendapatkan pendidikan merupakan hak dasar yang wajib diperoleh dan dipenuhi pemerintah. Jelas hal ini diatur dalam UUD 45 pasal 31 mengenai pendidikan. Harusnya pendidikan yang bersifat inklusif juga ada di sekolah-sekolah umum namun nyata belum tersedia terutama tenaga pendidik yang dikelola pemerintah.
Kepala Bappeda Balikpapan Ir Murni mengatakan konsep pendidikan yang berkembang tahun 2014an adalah pendidikan inklusif. Semua sekolah mengakomodir anak berkebutuhan khusus sehingga mereka merasa sama dengan anak lain.
Murni berpendapat mengacu pada konsep pendidikan inklusif harusnya di setiap sekolah ada guru-guru yang mempunyai kompeten dan keahlian mengajar anak-anak istimewa tersebut.
“Ya ..berarti menjadi PR bagi disdikbud untuk merencanakan guru dengan ahli tersebut. Kita bisa mendorong itu, ” tambahnya.
Pemerintah pasti sudah berjuang dan berbuat untuk rakyat. Kalaupun ada yang tertinggal mungkin suatu yang patut untuk diingatkan.
Melalui kekuatan birokrasi dengan payung hukumnya, bisa berkreasi dan membuat terobosan baru yang tidak melulu itu-itu saja. Apalagi anggaran tersedia dan yang bisa diarahkan untuk mewujudkan keberpihakan pada dunia pendidikan ABK.
Pemerintah juga bisa melakukan kerjasama dengan seluruh pihak termasuk perusahaan yang pro kepada pendidikan apalagi perusahaan yang ternama berlomba-lomba untuk ikut memberdayakan masyarakat dengan program jitunya.
Pendidikan bagi ABK sudah selayaknya dapat diwujudkan. Dan mereka berhak dan merdeka untuk mengenyam hal yang sama. Apalagi saat ini, kita yang sadar tiap tahunnya merayakan HARI ANAK NASIONAL yang diperingati setiap tanggal 23 Juli. Tiap tahun pula kita disibukkan dan diramaikan dengan PPDB online namun tidak sedikit pun yang menyinggung hak pendidikan ABK. Padahal mereka ada ditengah-tengah kita.
Pendidikan ABK Tidak perlu bangunan tersendiri atau berupa sekolah, cukup disediakan ruang belajar yang layak dan tenaga pendidik yang betul-betul paham tentang ABK. Dengan demikian pendidikan dasar bisa dinikmati oleh mereka yang butuh sentuhan kita bersama.
Penulis melakukan ini pun dalam rangka memberikan sentuhan kepada pemangku kebijakan bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus juga perlu mendapatkan perhatian.Lihatlah mereka. Mereka tidak melulu butuh uang seperti kita. Hanya saja butuh kasih sayang dan perhatian yang tulus dalam dunia pendidikan.
Mereka memang tidak meminta langsung tapi hati kecil dan keinginan mereka sama yakni “Ibu, Rafi sama kawan-kawan ingin sekolah,” ucap Rena lirih.
BACA JUGA