Ilustrasi Pemilu / ist

Hasil Pantauan Terdapat 131 Pelanggaran Pemilu, Dominasi Dilakukan ASN Hingga Pejabat Negara

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Pemilu bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis melakukan pemantauan terhadap netralitas pejabat dan aparatur negara dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Dalam siaran persnya, pemantauan dilakukan sejak penetapan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) oleh KPU hingga masa kampanye, dari 13 November 2023 hingga 5 Februrari 2024.

Berdasarkan hasil pemantauan, Koalisi Masyarakat Sipil menemukan adanya penggunaan sumber daya negara, mulai dari fasilitas, anggaran, kebijakan dan program untuk kepentingan kampanye dan pemenanganan kontestasi politik elektoral.

Catatan hasil pemantauan netralitas pejabat dan apatur negara sebelum dan selama pelaksaanaan kampanye yakni ditemukannya 121 kasus dengan 31 kategori tindakan penyimpangan

Dengan kata lain selama tiga bulan, terjadi rata-rata 40 kasus lebih setiap bulannya. Secara kuantitatif, jumlah tindakan jauh lebih tinggi dari jumlah kasus yang ada, namun kemudian dikelompokkan dalam 31 kategori mengacu pada tindakan yang terjadi.

Diantaraya, tujuh bentuk tindakan penyimpangan yang paling mendominasi yaknu 38 dukungan ASN terhadap capres/cawapres tertentu, 16 kampanye terselubung, 14 dukungan terhadap kandidat tertentu

Lalu 10 politisasi bantuan sosial (bansos), 9 dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu, 8 penggunaan fasilitas negara, dan 5 tindakan intimidasi terselubung.

Dalam pemantauan ini, sebagaimana dijelaskan dalam kerangka konseptual dan metodologis, terdapat tiga jenis pelanggaran dalam kasus-kasus penyimpangan aparat negara, yaitu kecurangan Pemilu, pelanggaran netralitas, dan pelanggaran profesionalitas.

Seluruh kasus penyimpangan aparat negara dalam periode pemantauan ini, terdiri dari kecurangan pemilu 60 tindakan, pelanggaran netralitas 54 tindakan, dan pelanggaran profesionalitas 7 tindakan). Seluruh bentuk pelanggaran yang terjadi berdampak pada pelanggaran prinsip pemilu yang Jurdil dan demokratis.

Sebaran wilayah, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan pelanggaran tertinggi dengan 14 kasus, Jawa Barat 13 kasus, Jawa Tengah dan Banten 12 kasus, serta Jawa Timur 11 kasus.

Lalu siapa paling diuntungkan. dari berbagai tindakan pelanggaran tersebut? Yang dimaksud kandidat dalam pemantauan ini adalah kontestan seperti pasanganan capres/cawapres, caleg DPR RI, caleg DPD RI, serta caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Selain itu juga partai politik. Dimana dalam 112 kasus yang menurut data menunjukkan keuntungan kandidat, 64 kasus di antaranya menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran, 18 kasus lainnya tidak spesifik, 15 menguntungkan caleg DPRD, 8 valeg DPR RI, dan 4 caleg DPD RI.

Lalu menjadi pertanyaan, mengapa pasangan Prabowo-Gibran menjadi kontestan yang paling diuntungkan dengan berbagai tindakan pelanggaran tersebut? mengapa kontestan lain tidak?

Hal itu dengan melihat struktur pelanggaran yang ada, dimana tindakan-tindakan yang banyak menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran dilakukan oleh kepala negara, pejabat negara, hakim konstitusi, ASN, TNI hingga polri. Sehingga melahirkan kesimpulan adanya faktor struktural yang dominan.

Terlebih lagi pasangan, Prabowo-Gibran merupakan kandidat yang paling dekat afiliasinya dengan kekuasaan tertinggi negara yakni Presiden dibanding dua pasangan lainnya. Data menunjukkan bahwa mesin birokrasi dan struktur negara sebagian besar digerakkan kepada Prabowo-Gibran.

Dalam kategori pelaku, ditemukan ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan Menteri merupakan terbanyak, masing-masing 13 kasus. Diantaranya Lurah/Kepala Desa 12 kasus, Presiden Jokowi 11 kasus dan Polri 9 kasus.

ASN dan Menteri menjadi pelaku terbanyak pelanggaran karena banyak sekali kasus pelanggaran netralitas yang melibatkan kedua unsur ini. Misalnya ditemukan banyak kasus kepala daerah, kepala dinas yang mengarahkan bawahannya untuk memilih calon tertentu. Demikian pula dengan Menteri.

Banyak sekali kasus pelanggaran netralitas yang melibatkan menteri, misalnya menfasilitasi sosialisasi calon tertentu melalui program atau kegiatan kementrian. Demikian halnya dengan Kepala Desa/Lurah, ditemukan banyak kasus mobilisasi aparat desa/kelurahan untuk mendukung calon tertentu atau yang paling kentara adalah keterlibatan Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia dalam beberapa kegiatan yang menghadirkan salah satu Capres.

Mencermati data penyimpangan aparat negara yang ada, Koalisi menilai bahwa yang sedang berlangsung sebenarnya lebih dari ‘sekedar’ kecurangan Pemilu, namun sudah masuk dalam kategori kejahatan pemilu (electoral evil), yang melibatkan pelaku di seluruh lapis jenjang dan jabatan aparatur negara, dari Kepala Desa/Lurah hingga Presiden.

Penyimpangan tidak hanya melibatkan sumber daya berupa human power atau anggaran, namun juga berupa kebijakan yang dimanipulasi dan disabotase sedemikian rupa untuk pemenangan kandidat tertentu. Dari sisi kuantitas kasus, juga terjadi lonjakan luar biasa.

Periode pemantauan dilakukan pada awal antara Mei – Oktober 2023 yang hanya 50-an kasus, terjadi lonjakan hampir 300 persen dalam 3 bulan terakhir. Padahal, secara umum, Koalisi menilai bahwa apa yang dicatat dan dilaporkan hanyalah puncak dari fenomena gunung es, bahwa yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dibandingkan dengan keseluruhan yang tidak tampak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Networks

suara