Joint Development di Laut Natuna: Indonesia Akui Klaim China?

Pada 9 November lalu, Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping mengeluarkan pernyataan bersama (Joint Statement) yang menarik perhatian publik
Presiden Prabowo bertemu dengan yang mulia Xi Jinping, Presiden Republik Rakyat Tiongkok. Foto: Instagram/presidenrepublikindonesia

Inibalikpapan.com,- Pada 9 November lalu, Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping mengeluarkan pernyataan bersama (Joint Statement) yang menarik perhatian publik. Poin 9 yang berbunyi, “Kedua pihak akan menciptakan lebih banyak kerja sama maritim”, menjadi daya tarik utamanya. Di dalamnya disebutkan bahwa kedua negara sepakat untuk pengembangan bersama di wilayah yang klaimnya tumpang tindih.

Pertanyaan yang langsung muncul adalah: apakah yang dimaksud dengan klaim tumpang tindih ini mengacu pada klaim “Sepuluh Garis Putus” yang diajukan China, yang secara langsung bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara? Jika benar, ini menunjukkan perubahan besar dalam kebijakan Indonesia, yang sebelumnya tidak mengakui klaim China tersebut.

Selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia tetap pada pendiriannya untuk tidak mengakui klaim sepihak “Sepuluh Garis Putus” yang tidak diakui dalam UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB), di mana baik Indonesia maupun China adalah anggotanya. Selain itu, pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen juga menegaskan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum dalam UNCLOS.

Namun, jika joint statement ini benar-benar mengarah pada pengembangan bersama di Laut Natuna, artinya Indonesia mungkin telah mengakui keberadaan klaim tumpang tindih tersebut. Dalam hukum internasional, konsep “joint development” biasanya hanya mungkin jika kedua negara mengakui ada sengketa di wilayah tersebut.

Klaim Maritim Indonesia-China Selama Ini

Sejauh ini, Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China karena tidak pernah mengakui klaim tersebut. Peta Indonesia dan Undang-Undang Wilayah Negara pun tidak mengakui klaim “Sepuluh Garis Putus.” Pemerintah selama ini juga konsisten menolak ide joint development dengan China di wilayah yang merupakan milik Indonesia.

Jika rencana joint development ini benar-benar mencakup Laut Natuna Utara, seharusnya Presiden Prabowo berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, banyak peraturan di Indonesia yang kemungkinan akan bertentangan dengan kebijakan ini.

Implikasinya juga bisa mempengaruhi posisi geopolitik Indonesia di ASEAN dan dunia. Negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei, yang selama ini bersengketa dengan China, mungkin akan mempertanyakan sikap Indonesia dan bisa memicu ketegangan baru.

Tak hanya itu, negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang, yang mendukung kebebasan navigasi di kawasan, kemungkinan akan kecewa jika Indonesia terlihat berpihak pada klaim China.

Jika benar pengembangan bersama ini terlaksana, maka tampaknya yang paling beruntung adalah China. Bahkan, China bisa mengklaim bahwa Indonesia mendukung posisi mereka. Hal ini yang bertentangan dengan pidato Presiden Prabowo yang menegaskan bahwa Indonesia tidak akan berpihak pada kekuatan besar mana pun.

Sumber: Guru Besar Hukum Internasiona UI

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.