Kasus Kekerasan Seksual di Kalimantan Tiinggi, di Katim Capai 362 Kasus
BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan khususnya kekerasan seksual kian mengkhawatirkan. Karena angkanya cukup tinggi.
Dilansir dari suara.com jaringan inibalikpapan.com, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bahkan menyatakan, secara umum jumlahnya terus meningkat.
“Kita tahu bahwa Kalimantan di 2022 sudah siap menjadi Ibu Kota Negara Baru, tetapi angka kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual juga semakin meningkat,” ujar Dita Wisnu Anggota Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Dia mengungkapkan, untuk tahun ini di Kaltim ada 363 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di Kalimantan Barat (Kalbar) terdapat 261 kasus, 137 kasusnya adalah kasus kekerasan seksual.
“Kalbar dan Kaltim termasuk angka kekerasan tertinggi, sedangkan di Kalimantan Selatan (Kalsel) sel ada 230 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 73 di antaranya kekerasan seksual,” ujarnya
Sementara di Kalimantan Utara (Kaltara) ada 148 kasus dengan kasus kekerasan seksual ada 62 kasus; serta di Kalimantan Tengah (Kalteng) ada 115 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 47 kasus kekerasan seksual.
“Itu umumnya terjadi di kota-kota besar, seperti Ketapang, Samarinda, Banjarmasin, Tarakan, Kapuas, dan Palangkaraya,” ungkap Ditta.
Selain itu, dia menyebut di Kalimantan masih kurang sumber daya manusia (SDM) yang mau mendampingi korban dan berperspektif korban.
“Serta belum tersedianya sejumlah sumber daya yang mumpuni dan kompeten memiliki perspektif korban dan hak-hak perempuan dan anak serta hak asasi manusia itu masih sangat minim, termasuk juga keberadaan shelter rumah aman, lembaga layanan bahkan organisasi masyarakat sipil yang konsen terhadap perlindungan korban atau menjadi pendamping korban,” ucapnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta kasus kekerasan seksual seperti ini, lanjut Ditta, sering kali hanya diselesaikan secara hukum adat bukan hukum pidana.
“Karena permasalahan seperti ini dianggap menjadi permasalahan perdata, bukan pidana, maka hal terkait perdata disesuaikannya dengan adat, selain itu di Kalimantan ini masyarakat Dayak ini bersifatnya komunal, kekeluargaan dari satu kampung ke kampung,” kata Ditta.
“Entah dikawinkan, entah membayar denda adat, tapi hukum formal sangat minim,” sambungnya.
Suara.com
BACA JUGA