Komnas HAM Beberkan Alasan Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Menolak Autopsi

Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang / ist

BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Komnas HAM membeberkan alasan keluarga korban meninggal dunia Tragedi Kajuruhan menolak Autopsi.Diantaranya Devi Athok, ayah kandung Natasya (18) dan Nayla (13) korban Tragedi Kanjuruhan.

Devi Athok membatalkan autopsi terhadap kedua anakanya yang meninggal dunia dalam tragedi kelam tersebut.Tragedi sepak bola nasional itu bahkan hingga kini telah menewaskan 134 korban jiwa.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan mereka telah bertemu dengan Athok pada Kamis (20/10/2022) kemarin. Berdasarkan pertemuan itu, Devi Athok memilih membatalkan autopsi

Orangtua korbvan merasa tidak nyaman didatangi sejumlah anggota polisi beberapa kali. Anam memastikan autopsi tidak dilakukan bukan karena keluarga korban mengalami intimidasi.

“Kita tanya sebenarnya, apakah Pak Athok mendapatkan intimidasi? Enggak intimidasi. Bahwa dia khawatir, banyak polisi yang datang iya. Bahwa dia khawatir, akhirnya juga trauma,” kata Anam lewat sebuah video pada Jumat (21/10/2022).

“Karena punya trauma kejadian Kanjuruhan, khawatir terus dia juga merasa ketakutan. Karena memang apa ketakutan dan kekhawatiran ini terjadi, karena memang tidak ada pendampingnya,”

Sedari awal mendapati dua anaknya meninggal, Athok bersikukuh meminta dilakukan autopsi. Dia inging tahu penyebab pasti meninggalnya Natasya dan Nayla. Sesuai jadwal, Kamis kemarin.

“Apalagi melihat kondisi jenazahnya, wajahnya menghitam ininya (bagian dada) menghitam. Itu yang ingin dia tahu makanya beliau bersemangat untuk melakukan autopsi,” kata Anam.

Pengakuannya, dia didatangi Polisi sebanyak tiga kali. Pada tanggal 11 Oktober dari empat orang dari Polres Kepanjen sekitar pukul 11.00 WIB. Kedatangan itu, sehari setelah Athok membuat surat pernyataan meminta autopsi didepan kuasa hukumnya. Namun surat itu diakuinya baru berupa draf, masih membutuhkan tandatangan dari kepala desanya sebagai saksi.

“Polisi berjumlah kurang lebih 4 orang datang ke rumah Pak Athok. Nah Pak Athok juga kaget. Dia merasa bahwa itu masih draft kok ini sudah kemana-mana. Itu masih draft hanya difoto penasehat hukum dan aslinya masih dibawa dia dan dia ingin minta tanda tangan Pak Kades dan kita konfirmasi kepada Pak Kades memang demikian yang terjadi. Dia ingin minta agar Pak Kadesnya mengetahuinya,” kata Anam.

Kemudian pada tanggal 12 Oktober empat orang polisi masih dari Polres Kepanjen kembali mendatang kediamannya untuk menanyakan proses autopsi yang rencananya digelar pada tanggal 20 Oktober. Pada tanggal 11 dan 12 Oktober saat polisi datang, posisi Athok tanpa pendamping atau kuasa hukumnya.

“Dia coba menghubungi teman-temannya, pendamping-pendamping dan lain sebagainya itu tidak ada yang bisa menemani dia di saat itu. Sehingga dia juga semakin khawatir. Ini kok ada polisi datang, pendampingnya, kuasa hukumnya ketika dihubungi memang tidak bisa hadir dengan berbagai alasannya di saat kepolisian datang,” ujar Anam.

Pada 12 Oktober itu, Athok sudah menandatangi surat persetujuan autopsi anaknya. Kemudian pada tanggal 17 Oktober sebanyak 17 orang polisi dari Polda Jawa Timur kembali mendatanginya masih terkait proses autopsi. Kedatangan polisi bersama camat dan kepala desa.

“Di situ juga begitu. Dia hubungi pendamping dan lain sebagainya juga tidak ada secara langsung, tidak datang ke situ, dia juga khawatir di soal itu,” jelas Anam.

Hingga akhirnya Athok bersama keluarganya menggelar rapat mengambil keputusan pada tanggal 17 Oktober. Hasilnya mereka menolak dilakukan autopsi. Penolakan itu dibuat dalam bentuk tulis tangan langsung oleh Athok.

Atas kronologi yang disampaikan Athok tersebut, Anam menilai bahwa autopsi harusnya bisa dilakukan, namun karena tidak adanya pendampingan, membuat keluarga korban khawatir.

“Kita tegaskan kalau seandainya ada pendamping, apakah ketika polisi datang berapa pun jumlah polisinya itu membuat dia khawatir enggak? Enggak. Jadi problemnya ini soal bagaimana membuat pak Athok nyaman,” katanya.

“Kondisi keluarga yang sedang trauma, sedang berduka yang sangat mendalam, terus didatangi polisi yang mengagetkan dia. Ya itu yang membuat dia khawatir. Seandainya ada pendamping katanya dia, ya itu kekhawatiran itu enggak akan ada, tapi itu tidak pernah terjadi,” imbuh Anam.

Kepada Komnas HAM, orang tua dari almarhumah Natasya dan Nayla membantah bahwa dirinya mengalami intimidasi. Athok mengaku tidak pernah menyebutkan kalimat dirinya dan keluarga mengalami intimidasi.

“Dia juga heran kok ada kata-kata intimidasi? Dia mengatakan dia tidak pernah mengatakan intimidasi, itu yang juga kami tanya,” beber Anam.

suara.com

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.