Krisis Pengungsi Rohingya di Aceh: 48 Jam di Atas Truk, Dilempar Sana-Sini
Aceh, inibalikpapan.com,- Krisis kemanusiaan di Aceh terkait pengungsi Rohingya memanas. Sebanyak 152 pengungsi, yang mencakup perempuan hamil, anak-anak, dan perempuan lainnya, menjadi korban dari kebijakan yang tidak jelas arahnya. Diangkut dari Aceh Selatan ke Banda Aceh pada 6 November 2024, mereka malah ditelantarkan selama 48 jam di atas truk tanpa makanan, air, atau akses sanitasi yang memadai.
Pengungsi ini awalnya ditemukan terombang-ambing di laut dan sempat diselamatkan oleh Basarnas sesuai arahan Perpres 125 Tahun 2016. Namun, setelah mendarat di Aceh Selatan, tanggung jawab penanganan pengungsi ini justru menjadi arena lempar bola antarinstansi.
Pemda Aceh Selatan memutuskan mengirim para pengungsi ke Banda Aceh untuk meminta penanganan lebih lanjut oleh Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh. Namun, ketika sampai di Banda Aceh, kantor pemerintahan yang dituju justru tertutup untuk mereka.
Setiba di Banda Aceh, Pemerintah Aceh Selatan berharap Kemenkumham bisa segera menindaklanjuti masalah ini. Berdasarkan Perpres 125 Tahun 2016, setelah proses penyelamatan, seharusnya Imigrasi melakukan pendataan dan berkoordinasi untuk penanganan lebih lanjut.
Namun, komunikasi antara Pemda Aceh Selatan dan instansi lain malah terhambat. Pihak Kemenkumham menjanjikan akan memindahkan pengungsi ini ke Lhokseumawe, tetapi Pemkot Lhokseumawe malah membantah adanya koordinasi sebelumnya terkait pemindahan tersebut.
Di tengah kebingungan koordinasi ini, ratusan pengungsi tersebut tetap berada di atas truk tanpa fasilitas layak. Kepolisian bahkan sempat meminta pengungsi untuk kembali ke Aceh Selatan. Pihak-pihak yang seharusnya membantu malah saling bertikai dan mengabaikan kemanusiaan.
Kondisi Mengenaskan di Atas Truk dan Gerakan Protes Warga
Para pengungsi rohingya tidak diizinkan turun dari truk sepanjang hari dan malam. Mereka harus buang air di dalam botol dan tidak bisa mandi atau mengakses toilet layak. Beberapa lembaga kemanusiaan berusaha menyuplai makanan dan minuman, tetapi ruang geraknya terbatas.
Tanpa akses sanitasi, anak-anak dan perempuan menjadi korban utama. Banyak yang mulai dehidrasi akibat cuaca panas dan minimnya air bersih. Mahasiswa setempat yang datang mencoba memperjuangkan hak para pengungsi agar setidaknya bisa turun dari truk, namun upaya ini tidak banyak membuahkan hasil.
Saat pengungsi menghadapi ketidakpastian, spanduk-spanduk protes tiba-tiba muncul, seakan-akan menandakan penolakan warga setempat terhadap kehadiran pengungsi. Namun, tidak jelas apakah ini memang inisiatif warga atau ada agenda lain di baliknya. Yang jelas, kondisi ini mirip dengan pola penolakan sebelumnya yang pernah terjadi saat isu pengungsi Rohingya sempat menjadi perbincangan politik.
Ketidakhadiran Pemerintah Pusat
Sementara itu, pemerintah pusat terkesan bungkam. Padahal, dalam krisis seperti ini, tanggung jawab utama ada pada Menteri Dalam Negeri, Kapolri, serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) yang memiliki mandat sesuai dengan Perpres untuk menangani pengungsi. Namun, ketiga instansi ini belum menunjukkan tindakan nyata.
Pada Kamis malam (7/11), ada kabar bahwa Pemkot Lhokseumawe bersedia menerima pengungsi setelah Pemerintah Provinsi Aceh memberi desakkan. Namun, ketika para pengungsi tiba di Gedung Ex Imigrasi Lhokseumawe pada Jumat (8/11) pagi, kelompok yang mengatasnamakan warga kembali menghadang mereka, yang menolak keberadaan pengungsi tersebut. Pengungsi rohingya akhirnya tidak diturunkan dan kembali dipindahkan tanpa kejelasan tujuan.
Krisis ini memperlihatkan kelemahan dalam koordinasi dan pelaksanaan Perpres 125 Tahun 2016. Meski memiliki panduan prosedural, Perpres ini tampaknya gagal memberikan panduan teknis dan perlindungan yang lebih jelas, terutama dalam situasi darurat seperti ini. Pengungsi, yang seharusnya mendapatkan perlindungan, malah diperlakukan secara tidak manusiawi, dipindah-pindahkan dari satu kota ke kota lain dengan kondisi yang semakin memprihatinkan.
Peristiwa ini mencoreng komitmen Indonesia terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini dikampanyekan di forum internasional.
Sumber: KontraS Aceh, Perkumpulan SUAKA, Yayasan JRS Indonesia, YKMI, YKPI, Yayasan Geutanyoe, CMC, Flower Aceh, AWPF , PASKA Aceh, YBSB, Rumah Relawan Remaja (3R), Forum LSM Aceh, RDI UREF, Amnesty International Indonesia, Asia Justice and Rights (AJAR), Advokasi Dompet Dhuafa: Arif R. Haryono, MER-C
BACA JUGA