Media Massa Diskriminatif Beritakan ASEAN Queer Advocacy Week

Diskriminasi / ilustrasi / LPM Progress

JAKARTA, Inibalikpapan.com – Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman menilai sejumlah pemberitaan media online tentang ASEAN Queer Advocacy Week cenderung diskriminatif dan mengamplifikasi narasi kebencian. 

Pemberitaan itu secara langsung dan tidak langsung berkontribusi pada meningkatnya ancaman kekerasan yang diterima komunitas Lesbian, Gay, Transgender, Interseks, Queer di Indonesia.

Hasil pemantauan terhadap pemberitaan media daring menunjukkan sejumlah media mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman karena menggunakan kutipan narasumber yang berisi narasi kebencian dan ancaman seperti pada kata mengusir dan menyimpang.  

Beberapa pemberitaan juga hanya menggunakan narasumber dari kalangan otoritas resmi, mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia dan keberagaman gender, dan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap minoritas LGBTIQ.

Sebagian pemberitaan media online berskala lokal maupun nasional lebih banyak memuat pernyataan politisi, polisi, Majelis Ulama Indonesia, dan pejabat pemerintah yang menyerukan anti-LGBTIQ yang berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut.

Dampaknya, penyelenggara pertemuan ASEAN Queer Advocacy Week, forum pertemuan itu memutuskan memindahkan lokasi yang semula digelar di Jakarta pada 17-21 Juli 2023 karena menerima serangkaian ancaman keamanan dan keselamatan dari sejumlah pihak anti-LGBTIQ.

Penyelenggara acara tersebut, Arus Pelangi mendapatkan ancaman pembunuhan melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram secara bertubi-tubi. Para pendengung dan pemengaruh mengobarkan kebencian. 

Selain itu, akun media sosial organisasi yang fokus pada advokasi hak LGBTIQ tersebut lumpuh total karena serangan massal di dunia maya. Dampak lainnya, akun pribadi pegiat Arus Pelangi dan identitas penyelenggara juga disebarkan secara masif di media sosial. 

Padahal forum pertemuan itu dihelat untuk berdialog dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk mereka yang didiskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks mereka (SOGIESC). Mereka memiliki visi bersama tentang kawasan ASEAN yang inklusif dan mengupayakan ruang aman bagi masyarakat sipil. 

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas mengatakan sejumlah media online gagal memberikan ruang aman bagi kelompok gender minoritas. Media seharusnya tidak mengamplifikasi narasi kebencian yang digelorakan sekelompok warga intoleran di media sosial maupun pernyataan pihak-pihak tertentu yang diskriminatif. 

“Sebaliknya, media harus lebih kritis, menjunjung keberagaman dan menghormati bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkumpul, menggelar rapat, dan berserikat yang diselenggarakan untuk maksud damai seperti yang dijamin oleh konstitusi,” kata Ika Ningtyas. 

Ika juga mendesak media massa untuk lebih serius menulis berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas LGBTIQ, menghormati keberagaman, menggunakan perspektif hak asasi manusia sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM, dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Dewan Pers.

Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwari mengatakan jurnalis dan media massa seharusnya mempelajari latar belakang peristiwa terkait isu keberagaman dan tidak mempertebal suara-suara yang mengajarkan kebencian. Era disrupsi sangat mempengaruhi bisnis media yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip jurnalistik. 

Perusahaan media massa semestinya mulai mengakui HAM sebagai dasar kebijakan bisnis mereka. Pendekatan HAM tidak hanya berpikir tentang untung, melainkan menjaga prinsip anti-diskriminasi.

“Penting bertanggung jawab melalui pemberitaan yang tidak meminggirkan minoritas LGBTIQ yang berujung pada kekerasan dan persekusi,” ujar Thowik. 

Riset Konde.co bekerja sama dengan USAID & Internews bertema Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender Dan Seksual Non-normatif “LGBT” (2022) menunjukkan media masih melakukan marginalisasi terhadap komunitas gender dan seksualitas (LGBTIQ) dengan penggunaan diksi yang berkonotasi negatif dan pemilihan narasumber yang terbatas pada otoritas resmi.

AJI Indonesia belum lama ini juga mengamati pemberitaan sejumlah media online cenderung diskriminatif terhadap kelompok LGBTIQ menjelang Pemilihan Umum 2024. Dampak pemberitaan itu berpotensi memperparah persekusi dan kekerasan terhadap LGBT. 

Temuan itu muncul dari hasil pemantauan media massa oleh AJI, SEJUK, dan Arus Pelangi. Sepanjang Januari dan Februari 2023, hasil pendataan berita media daring yang menunjukkan sebagian besar tidak berperspektif gender dan tidak melindungi hak minoritas LGBTIQ.

Selain menyoroti pemberitaan media online, AJI dan Sejuk juga memantau platform media sosial seperti Twitter masih menjadi ruang yang menyuburkan narasi kebencian pada kelompok LGBTIQ menjelang ASEAN Queer Advocacy Week. 

Platform media sosial seharusnya lebih proaktif untuk mencegah beredarnya narasi kebencian yang mendiskriminasi kelompok rentan, terutama yang mengandung ancaman terhadap keselamatan jiwa kelompok LGBTIQ.

“Platform media sosial tidak bisa lagi hanya mengandalkan mekanisme laporan dari pengguna, bukan hanya karena proses tindak lanjut yang tak pasti, tetapi juga karena jumlah narasi yang beredar cenderung sangat massif dan cepat,” Kata Ika Ningtyas. 

Kata Ika, sudah saatnya platform media sosial mengubah kebijakan moderasi konten yang lebih inklusif, memperhatikan konteks, dan proaktif dalam melindungi kelompok rentan. 

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.