Melalui Ecoprint Emiliani Yakinkan dan Berdayakan Ibu-ibu Samboja Untuk Bangkit

Emiliani pemilik Bruwun Geulis

SAMBOJA, Inibalikpapan.com – Produk kain ecoprint hasil buah tangan para pengrajin di Desa Karya Jaya, Samboja makin dikenal masyarakat. Apalagi mereka sudah memanfaatkan warna alami dari kayu Ulin dan Bajakah.

Kriya Ecoprint mereka pun menjadi pembeda dari produk Ecoprint dari daerah-daerah lainnya termasuk Jogjakarta. Inilah yang dilakukan Emiliani (40) warga Desa Karya Jaya Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara yang memiliki kriya Ecoprint Bruwun Geulis.

Emiliani mengatakan, butuh kesabaran dan rela berkorban untuk mengenalkan griya Ecoprint kepada warga sekitar rumah termasuk kepada pemangku kepentingan di Kabupaten Kukar.

” Saya awalnya diajak Pak Didi dari Kagama tahun 2022 bulan Maret di Woody tempatnya Pak Didi. Saya bilang ini bisa menjadi nilai uang. Waktu pulang saya menggebu-gebu banget. Jadi kalau kelompok saya tidur saya teriak ini ada nilai uangnya. Setelah enam bulan kadang saya pakai uang pribadi saya beli, saya kasihkan ke dinas-dinas,” ungkapnya ditemui di lokasi pelatihan yang diadakan Pertamina Gas tanggal 7-11 Agustus 2023 di aula Kecamatan Samboja.

Adapun komunitas ecoprint di desa Karya Jaya Samboja ini berjumlah 9 orang anggota. Kalau semua anggota sedang sibuk bekerja, maka Emiliani akan mengerjakan produk-produknya setelah pulang dari bekerja.

Meski skalanya masih kecil namun karya ini dibeli oleh orang-orang dari luar Kaltim. Dengan skala produksi sekitar 30 kain dalam satu bulan bisa menghasilkan omzet yang lumayan.

“Rata-rata banyak pesanan dari luar daerah berupa kain. Bahkan ada pesanan dari Yogyakarta pesan kain jenis warna ulin, 5 kain. Saya jual tetap harga sama, Rp 350 ribu. Kecuali ada yang saya kasih Rp 250 ribu karena dia mau jual lagi,” urainya.

Ia menyebut omzet tiga bulan terakhir ini lumayan. Setiap bulan terjual sekitar 30 lembar kain ecoprint. Dengan harga modal sekitar Rp150 ribu, bisa dijual dengan harga Rp350 ribu.

“Belum lagi kalau produk saya bisa dikatakan gagal, jadi saya punya solusi saya bikin topi, dompet, tas, saya kembangkan lagi di situ. Jadi saya jual produk jadi,” ungkapnya.

Kalau produk jadinya, seperti baju, dijual dengan harga tergantung situasi. Misalnya saat sedang pameran, diskon Rp 450 ribu. Paling tinggi pernah dijualnya seharga Rp 650 ribu. Ada kualitas ada harga. Karena pengerjaannya juga lebih lama.

Sebelumnya, Emiliani hanya berdagang seperti buket dan baju biasa saja. Namun setelah membuat produk ini, laku dijual dan sekarang dia bangga menggunakan produknya.

“Yang jelas dari awal saya mengenalkan ecoprint ke warga Samboja, terus saya beranikan diri membuat fashion show di Expo tahun 2022, nah di situ saya banyak dilihat sama instansi. Setelah itu ada lomba inovasi desa tingkat kabupaten, saya ikut Alhamdulillah saya juara satu,” katanya.

Setelah juara satu itu, banyak instansi yang berkunjung. Kemudian dibawa ke tingkat provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

“Ternyata peminat ecoprint itu banyak dan laku keras. Memang awalnya produksi enam bulan saya enggak jualan, saya kasihkan ke bupati, ke kepala dinas-dinas, saya kasih produk saya. Saya kasih kain, ada juga saya kasih ke ibu-ibu Dharma Wanita,” terang Emiliani yang juga menjadi model saat memperkenalkan karyanya.

Pelatihan Ecoprint dan Shibori digelar Pertagas bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Kalimantan Timur, Among Gadhong. Pelatih Ecoprint dari Among Gadhong asal Magelang Retno Setya Ningsih mengatakan, ada beberapa teknik ecoprint. Seperti teknik pounding, namun semua teknik ada kelebihan dan kekurangannya.

“Teknik pounding ini lama, karena dia harus dikerjakan satu per satu. Dipukul satu satu, secara teori dia gampang banget tapi secara praktek dia lama pengerjaannya,” katanya.

Namun ada juga teknik yang secara teori lebih ribet, tapi praktik pengerjaannya bisa langsung selesai.

“Karena dia caranya ditaruh, ditutup dan di kukus. Ini teknik miroring. Sebenarnya dengan teknik steaming sama-sama dikukus. Tapi kalau steaming kita pakai dua kain dan bisa pakai pewarna,” ujarnya.

Ia menunjukkan proses pembuatan kain ecoprint. Secara umum, teknik ecoprint dengan cara steaming bisa menggunakan semua daun tumbuhan untuk mencetak motif dan warnanya, atau hanya motifnya saja untuk diaplikasikan pada kain dengan beberapa cara. Baik steaming atau kukus.

Contohnya untuk mendapat motif daun dan warnanya, biasa menggunakan daun jati. Namun jika hanya untuk motifnya saja, bisa menggunakan daun dari jenis tanaman paku-pakuan.

“Paku-pakuan dia keluar motif tapi enggak keluar warna. Jadi secara umum teknik steaming bisa pakai daun apa saja, tinggal kita combine aja bikin motifnya,” ujanya.

Menurutnya, sejak dulu daun jati sering dimanfaatkan sebagai bahan ecoprint karena menghasilkan produk yang baik. Bisa mendapatkan warna dan motifnya sekaligus. Bahkan detail-detail serat daun jati bisa dicetak di kain.

“Di awal itu yang lebih favorit. Tapi itu untuk pemula karena dia gampang. Kalau di level middle up atau pemain yang sudah di atas atau pembeli repeat yang kesekian, dia bilang biasa aja karena tingkat kesulitannya,” urai Retno.

Selain itu ada juga daun lanang, daun miana, paku-pakuan, kemudian ada daun eucaliptus, jarak ulung.

“Banyak yang bisa mengeluarkan motif. Seperti daun lanang, jarak ulung dan lain-lain. Jadi semakin banyak motor dunnya bisa jadi iya mempengaruhi harga, bisa jadi tidak. Tapi inovasi yang terbaru ini saya beri nama Maneka Series, satu lembar kain dibikin terdiri dari tiga warna. Ini tidak ada di tempat lain,” katanya.

“Namun ada juga daun-daun yang dihindari untuk pemanfaatan ecoprint. Misalnya daun pintu, daun pisang,” imbuhnya.

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.