Melihat dari Dekat Kehidupan Terpencil dan Keberpihakan pada Nelayan Muara Pegah
MUARA PEGAH, Inibalikpapan.com —Terpencilnya desa Muara pegah, akses yang cukup sulit dan terbatasnya sarana yang ada, membuat masyarakat Muara Pegah RT 11, Kelurahan Muara Kembang, Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kukar harus bersikap realistis terutama bagi anak-anak mereka setelah lulus SD.
Banyak diantara mereka yang lulus SD tidak melanjutkan sekolah dan memilih membantu orangtuanya menjadi nelayan atau petambak. Dua bidang ini merupakan mata pencarian utama masyarakat Muara Pegah.
Sebab untuk jenjang SMP, anak-anak harus sekolah di Handil Darat atau Muara Jawa. “Tapi banyak yang tidak melanjutkan mereka memilih jadi nelayan. Kan jauh dan harus biaya lagi. Kalau sekolah SD disini kan gratis,” kata Sukmawati Kepala Sekolah SD Muara Pegah.
Menurut Sukmawati, keinginan sekolah dari anak-anak desa Muara Pegah, Muara Kecil dan desa Muara Besar sebenarnya sangat besar sekali hanya saja tidak ada sekolah lanjutan atau SMP di desa mereka sehingga warga harus berpikir ulang melanjutkan anaknya ke tingkat lebih tinggi.
“Lulus SMP harus ke Muara Jawa atau Handil Darat kalau nggak melanjutkan mereka putus sekolah dan melaut. Banyak setelah lulus SD mereka cari duit jadi nelayan atau petambak,” ungkap Sukmawati yang merangkap mengajar hampir seluruh mata pelajaran di sekolah yang dipimpinnya.
Pihaknya tidak bisa memaksakan kondisi ini, kecuali bagi mereka yang memiliki kecukupan materi untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. “Tergantung pada orang tua yang mampu bisa melanjutkan, tapi yang lain. Banyak yang putus setelah lulus SD,” ucapnya.
Meski sekolah swasta, sekolah inipun tidak memungut biaya pendidikan. Berbeda dengan kebanyakan sekolah yang ada. Sekolah memilih menggratiskan agar pendidikan bagi anak-anak nelayan tetap berjalan.
“Gratis pendidikan kalau suruh bayar susah takutnya berhenti sekolah daripada berhenti kami yang mengalah,” tuturnya.
Bahkan dahulu, murid-murid SD Muara Pegah saat melaksanakan ujian negara harus menumpang di sekolah lain. Murid kelas VI Muara Pegah harus menyeberang laut ke Handil Muara Jawa mengikuti UN di SD 016 karena ditempatnya tidak ada pengawas.
“Tapi alhamdulillah sudah tahun anak-anak kalau UN disini tidak lagi nyebrang laut. Kita usulkan ke dinas pendidikan ternyata bisa digelar disini,” ungkap Sukma panggilan akrabnya.
Muara Pegah Ditinggali Suku Bone
Di desa ini, meski memiliki daratan yang cukup luas namun tidak banyak penduduk yang tinggal. Mereka yang tinggal di Muara Pegah merupakan masyarakat Sulawesi Selatan Kabupaten Bone yang datang berkelompok. “Panjang kampung ini paling 800 meter saja dan KK hanya 49 saja 1 RT saja. Semuanya dari Bone karena mereka datang bersama keluarga kemari,” tutur Sudirman Ketua RT 11 Muara Pegah yang sudah menetap selama 26 tahun.
Desa ini awalnya ditempati oleh Bakri seorang warga asal Bone yang melaut dan menempati daerah muara yang banyak terdapat pohon nipah-nipah. Dinamai muara Pegah karena daerah ini jauh darimana-mana, tempat terputus dari daratan lainya.
“Muara pegah itu orang Total nggak tau tapi kalau hotel kilo mereka tau. Muara pegah ini bahasa kampung aja yang tau. Kalau orang perusahaan nggak tau dimana Muara Pegah itu,” cerita Sudirman saat sosialisasi program kembang bersinar peningkatan kapasitas badan pengelola listrik tenaga surya (BPLTS) pegah bersinar dan masyarakat Muara Pegah serta saat kunjungan tim PHM dan media, Kamis (3/10/2019).
Keberadaan warga ini tidak lepas dari aktivitas yang sudah ada sebelumnya yakni terdapat petugas kepanduan, navigasi dan pos Angkatan Laut dengan satu menara pemantau dan satu menara kepanduan.
Tidak banyak yang paham pula arti Muara Pegah namun menurut Ketua Rt 11 Sudirman nama Muara Pegah diartikan putus perjalanan.“Muara pegah itu artinya putus perjalanan. Karena perjalanan ke pulau itu putus dan tempat ini dikelilingi pulau-pulau,”jelasnya.
Tempat ini pertama kali disinggahi oleh Bakri yang kini berusia 78 tahun. Bakri menempati pulau atau Desa Muara Pegah sejak tahun 1972 sebagai nelayan.
”Saya nelayan saja sampai sekarang tinggal disini,” ujar Bakri mengawali cerita kepada Inibalikpapan.com.
“Dulu satu rumah, terus bertambah-bertambah. Rumah saya dulu dekat sana (pemandu) tapi kena ombak ambruk terus pindah ke dalam,” katanya asal Bone.
Bakri mengungkapkan nama Muara pegah itu diberikan oleh orang Kepanduan. “Kepanduan itu lebih dulu kalau nggak salah lima bulan kepanduan baru saya tinggal disini,” ceritanya.
H Bakri bersama warga lainya mengaku senang dan bahagia karena sejak Desember 2018 telah mendapatkan penerangan listrik tenaga surya dari PHM. “Sudah 9 bulan listrik ini. Senang bagus aja,” tuturnya.
Sebelum ada listrik tenaga surya, untuk penerangan warga menggunakan genset dan solar. “Ada dua rumah satu mesin. Dulu ada bantuan mesin dari Total itu 50 PK sampai 30 liter satu malam. Jadi orang sini nggak mampu bayar solarnya jadi stop itu,” ungkap Bakri.
Kini pengunaan listrik dari genset berbahan bakar solar dialihkan ke tenaga surya (solar home system/SHS) melalui program CSR yang dilakukan PH sejak 9 bulan lalu.
SHS Hidupkan Ekonomi Warga
Warga pun kini tidak lagi merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya pembelian solar. Kata Sudirman “Alhamdulillah terbantu sekali pak, SHS ini betul-betul bermanfaat. Dulu warga ngak pernah bikin es blender disni sudah bisa buat. Karena dulu nyala lampu malam itu Cuma jam 12,” tuturnya.
Keberadaan SHS kini listrik bisa dinikmati lebih panjang 12 jam bahkan bisa 24 jam dengan kapasitasn 600-1200 watt. Penggunaanya bukan hanya untuk lampu tapi kulkas atau tv.
“Untuk jualan bisa bantu kita, bersih ramah lingkungan dan tidak brisik dulu kayak naik dikapal. Genset dulu kita beli,” ceritnya.
Penggunaan genset kala itu digunakan hanya malam dengan biaya BBM 10 liter solar perhari. Warga minimal mengeluarkan uang Rp50-100 ribu permalam untuk solar. Tapi sekarang cukup Rp100 ribu untuk membayar rekening listrik ke BPLTS. Wargapun dapat menikmati listrik yang jauh lebih baik dan ramah lingkungan.
“Dengan SHS sangat bantu, dulu ibu-ibu tidak ada kegiatan. Sekarang bisa buka warung jualan es. Es belender itu sangat bantu,” katanya.
Penggunaan SHS bukan sampai disitu tapi juga warga diberikan pelatihan dalam pemeliharaan dan perawatan sekaligus operasionalnya. Masyarakat Muara Pegah bersam lurah, LPM dan PHM telah membentuk Badan Pengelola Listrik Tenaga Surya (BPLTS) yang dikelola warga setempat termasuk dalam perawatan dan penarikan iuran setiap bulannya untuk operasional keberlangsungan SHS di Muara Pegah.
Selain SHS, di desa ini juga terdapat Polindes (pondok bersalin desa) yang berdiri sejak 2018 lalu. pelayanan yakni posyandu, pemeriksaan ibu hamil dengan mendatangkan dua bidan dari Handil dan pemeriksaan kesehatan tekanan darah, diabetes, dan kolestorel.
“Kalau Posyandu itu tiap bulan tanggal 13 atau 14 datang. Ada juga pelayanan pemeriksaan kehamilan tapi kalau ada yang mau melahirkan dirujuk ke Handil,” tutur Halimatus Sa’diyah kader Polindes.
Untuk ke Handil bagi ibu melahirkan membutuhkan waktu 30 menit perjalan ke handil dengan biaya kapal Rp200 ribu sekali jalan.
“Kalau pemeriksaan kolestorel, gula bayar 10ribu. Sebagian besar banyak daftar BPJS karena saya urus BPJS kesehatan,” sambungnya.
Jika Polindes tidak buka, maka pelayanan kesehatan dilakukan di pos TNI AL”Sebelum ada ini dibantu pos TNI AL. Kita datang kesana, hari-hari kalau nggak ada bidan ke Pos AL,” tutur Halimah yang juga Sekretaris RT 11.
Head of Media & Communication Departeman Weanny Hikmat mengatakan kunjungan tim PHM dan media untuk melihat langsung program CSR PHM memanfaatrkan tenaga surya untuk kebutuhan penerangan di desa Muara Pegah.
“Salah satu kita mengunjungi melihat solar panel dan polindes yang ada disini,” tuturnya dalam pertemuan dengan warga dan stakeholder desa.
“Program ini bagian kepedulian kami di PHM terhadap warga sekitar dan mudah-mudahan ini bisa jadi insipirasi bagi masyraakat, perusahan lain sehingga bisa berkontribusi bagi masyarakat sekitar daerah operasinya,”harapnya.
Program yang buat PHM menurut perwakilan Lurah Muara Kembang, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup warga kelurahan Muara Kembang khususnya Muara Pegah.
“Selain kebutuhan dasar kita beberapa tahun terakhir ini terus menerus membantu warga kami dibidang pendidikan dan kesehatan juga selama ini kalau malam gelap Alhamdulillah sudah semua rumah tangga mendapat bantuan penerangan tenaga surya,” tuturnya.
Diharapkan hal ini juga berdampak pada ekonomi warga yang hampir seluruhnya mata pencarian adalah nelayan. “Kalau udang, kepiting asal dari warga kami disini,”tukasnya usai kegiatan pelatihan tata cara penggunaan dan pemeliharaan solar home system dari PHM.
Selesai.
BACA JUGA