Memperjuangkan Si Biru Di Perbatasan
Kapan elpiji tabung biru Indonesia kemasan Pertamina bisa berdaulat di Nunukan?
Nunukan adalah kabupaten paling utara Indonesia di Kalimantan Utara. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kesultanan Sabah dan Negara Bagian Sarawak, bagian dari Federasi Malaysia.
Nunukan adalah halaman belakang sampai tahun 2014. Setelah itu, perubahan cara pandang oleh pemerintah mengubahnya menjadi serambi depan.
Tapi keadaan selama jadi serambi belakang, bagi banyak orang, masih berlangsung.
“Boleh saja semboyan Garuda di Dadaku,” kata Niko Ruru, jurnalis yang sudah sepuluh tahun terakhir ini bertugas di Nunukan. “Tapi Malaysia di perutku,” sambungnya seraya menyeruput sarabba di tepi jalan beton yang baru selesai, yang bersisian dengan pantai dan laut di utara kota.
Sarabba adalah wedang jahe ala Bugis, mirip juga dengan minuman susu telor madu jahe (STMJ) di Jawa. Di Nunukan yang tanah air Orang Tidung itu, memang banyak perantau Bugis, selain Banjar, Jawa, Toraja seperti Niko, dan serba sedikit suku-suku lain di Indonesia.
Di seberang terlihat dalam warna hijau tua kebiruan Pulau Sebatik. Hampir persis dibagi dua sama luas, pulau itu sisi timur masuk wilayah Indonesia, sisi barat punya Malaysia.
Niko menjelaskan, istilah ‘Malaysia diperutku’ untuk menggambarkan begitu banyaknya kebutuhan yang didatangkan dari Malaysia oleh warga.
“Mulai yang remeh seperti biskuit, sampai gas untuk masak, elpiji itu,” papar Niko. Juga pakaian dan barang-barang elektronik.
Ada juga keyakinan yang entah sejak kapan, bahwa bahwa minuman serbuk cokelat Milo buatan Nestle Malaysia lebih enak rasanya daripada minuman serupa buatan Nestle Indonesia.
“Sampai jadi oleh-oleh dari perbatasan. Belum sah ke utara sini, ke Nunukan, Tarakan, atau bahkan ke Berau, kalau pulang gak bawa Milo Malaysia,” gelak Niko.
Barang-barang konsumsi itu didatangkan dari Malaysia karena jaraknya yang dekat. Dari Tawau, kota paling selatan Sabah, hanya perlu 90 menit mencapai Nunukan dengan speedboat. Sebaliknya kalau dari selatan, dari Tarakan yang adalah kota besar dan ramai paling utara Indonesia, setidaknya makan waktu 120 menit.
“Itu masih ditambah sekitar setengah jam antre merapat,” kata Amir, karyawan perusahaan di Balikpapan yang sesekali melancong ke Nunukan.
Jarak yang dekat membuat ongkos angkut barang Malaysia bisa ditekan. Harga jualnya kembali ke masyarakat pun jadi murah. Suplainya juga cukup dan selalu tersedia.
“Jadi hukum ekonomi sederhana saja hal Malaysia di Perutku itu,” kata Niko, “tidak ada hubungannya dengan nasionalisme.”
***
Kenyataan lain, di Nunukan, seperti sudah disebut Niko, barang asal Malaysia lain yang populer hingga jauh ke dalam benak bawah sadar adalah gas untuk masak dan kemasannya.
Saat ini, tahun 2018 dan menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi, masih gas dalam tabung kuning dan hijau muda dari Malaysialah yang berjaya. Kejayaan itu selain kasat mata, juga jelas di telinga.
“Di sini sebutnya ‘tong’, bukan ‘tabung’,” kata Hajjah Napisah, menunjuk kepada tumpukan silinder berwarna hijau dan kuning di depan tokonya. Tong-tong itu tampak kusam. Pada bagian yang catnya terkelupas, tampak karat meruyak.
Sebutan ‘tong’ mengikuti peristilahan Bahasa Melayu yang dipercakapkan di Sabah, jiran sebelah utara Nunukan dari mana tong-tong itu datang.
Toko Hajjah Napisah ada di pertigaan bundaran yang mempertemukan Jalan Ahmad Yani dengan Jalan Tien Soeharto di Kota Nunukan. Tak kurang dari 20-an tong hijau dan tong kuning ditumpuk berderet di sisi kanan pintu toko. Di depannya disusunkan tabung-tabung yang lebih pendek berwarna hijau cerah seperti buah melon. Di tabung yang kecil berwarna hijau cerah itu ada tulisan ‘untuk masyarakat miskin’.
“Kalau ini asli Indonesia,” tunjuk Bu Haji pada tabung-tabung pendek seperti melon.
“Yang kuning dari Shell, yang hijau punya Petronas,” sambung Bu Haji. Tabung kuning dan hijau itu isinya 14 kg gas. Harga gas di dalamnya Rp160.000 kalau lagi banyak pasokannya. Kalau lagi susah, bisa sampai Rp250.000 atau lebih kurang RM75.
“Makanya kelihatan lebih gendut daripada yang biru punya Pertamina,” sambung Bu Haji. Karena lebih banyak, pemakaiannya juga umumnya lebih lama daripada gas di tabung biru Indonesia yang diisi gas seberat 12 kg. Setelah sampai Nunukan dari Balikpapan, harga gasnya saja menjadi Rp180.000. Kalau beli dengan tabung baru Rp650.000.
Oleh Bu Haji, tong dan tabung itu disatukan dengan rantai dan digembok untuk keamanan.
Dengan jumlah tong berbeda-beda, pemandangan serupa itu biasa di banyak toko sembako di Nunukan. Ada di swalayan Alaska Makmur di Jalan RA Kartini, toko sedang seperti toko Bu Haji Napisah, hingga warung kecil tak bernama di turunan Jalan Rimba. Bahkan sebenarnya sudah bisa ditemui sejak masih di Tarakan walaupun tidak lagi banyak seperti tahun-tahun lampau.
Petronas adalah badan usaha milik negara Malaysia yang khusus mengurusi minyak dan gas (migas), sama seperti Pertamina milik Indonesia. Shell adalah perusahaan migas swasta yang sudah berusia ratusan tahun, milik orang Belanda namun didaftarkan di Inggris dan memiliki bisnis migas di seluruh dunia. Penemuan dan industri minyak Balikpapan juga punya kaitan dengan Shell.
Shell ada di Malaysia dengan latar Malaysia yang dulu jajahan Inggris dan anggota persemakmuran atau organisasi negara-negara bekas jajahan Inggris.
Di Nunukan, tong gas Shell dan Petronas diimpor dari Tawau, yang lampu-lampunya kelihatan dari Pulau Sebatik.
“Sementara kita datangkan elpiji dari Balikpapan. Seminggu baru sampai sini,” sambung Bu Haji.
Itu bila cuaca cerah, laut tenang, dan kapal landing craft tank (LCT) yang mengangkut lancar jaya mengarungi lautan. Kalau angin lagi kencang dan ombak tinggi, jadwal kapal sampai pelabuhan bisa meleset jauh.
***
Oleh media, Asmin Laura Hafid, tahun ini 33 tahun, lebih sering diembel-embeli sebagai bupati cantik ketimbang yang lain-lain. Hampir semua berita mengenai Bupati Nunukan itu selalu ada kata ‘cantik’-nya.
“Memang cantik, mau bagaimana lagi,” kata Niko Ruru tertawa. Niko sendiri beristrikan seorang dokter, yang cantik juga.
Padahal Bupati Laura punya banyak prestasi. Satu yang terbaru adalah Kabupaten Nunukan mendapat penghargaan sebagai Kabupaten Inovasi.
Inovasi artinya membuat upaya tertentu agar sebuah pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih mudah dan memberi hasil maksimal.
Kepemimpinan Laura yang memotivasi memunculkan orang seperti Ramsidah yang berhasil membuat banyak jamban murah dan sehat untuk keluarga di tengah pemukiman warga miskin.
“Sekarang tantangan buat saya dan jajaran Pemkab Nunukan berserta seluruh masyarakat adalah membuat produk-produk Indonesia, produk negeri kita sendiri, bisa diminati masyarakat Nunukan ini,” kata Bupati Laura pertengahan Oktober lampau.
Dari sekian banyak produk, yang diputuskan ‘Harus Indonesia’ adalah gas. Karena ada Petronas dan Shell Malaysia dibalik tong hijau dan tong kuning yang menikmati keuntungan dari uang orang Nunukan. Uang itu harus ditarik pulang ke negeri sendiri agar berputar di kalangan bangsa sendiri.
“Jadi kita harus pakai produk gas kita sendiri,” tegas Bupati Laura pertengahan Oktober lalu.
Dengan luas wilayah hingga 13,9 ribu km, diantaranya perbatasan dengan Malaysia sepanjang 590 km, Laura tahu tantangannya jauh lebih daripada sekedar membuatkan jamban sehat bagi warga miskin.
“Tapi mari kita mulai dari yang kecil dan yang kita kuasai dulu,” katanya.
Ia menguasai dan berwenang memerintahkan para aparatur sipil negara alias para pegawai negeri sipil. Para ASN ini ada di seluruh kecamatan hingga tingkat desa bukan. Di Nunukan, jumlah mereka ada sekitar 4.000 orang.
Meski demikian, fokus awal cukup di Kota Nunukan di Pulau Nunukan.
Bupati Laura membuat kebijakan sederhana: mewajibkan para ASN menggunakan Bright Gas 5,5 kg. Bright Gas adalah produk non subsidi dari Pertamina
“Masyarakat perlu mengetahui bahwa dengan menggunakan produk dalam negeri dapat memicu dan memacu perekonomian bangsa,” kata Bupati.
Agar menjadi ingatan publik, dibuatkan acara khusus sebagai penanda atas kewajiban itu. Bersama Pertamina Marketing Operation Region (MOR) VI yang bertanggung jawab atas distribusi BBM dan gas se Kalimantan, di depan hadirin para pejabat penting Kabupaten Nunukan, Bupati Laura Hafid mendeklarasikan kewajiban ASN Nunukan menggunakan produk gas kemasan Indonesia, dimulai dengan Bright Gas 5,5 kg.
Region Manager Domestic Gas Pertamina MOR VI Tiara Thesaufi juga mengambil kesempatan itu untuk mendaulat Bupati Laura menjadi Duta Bright Gas.
“Duta Bright Gas pertama yang seorang bupati,” kata Thesaufi semringah.
Menurut Thesaufi, di Nunukan, Duta Bright Gas levelnya bukan lagi mengampanyekan berpindah dari produk subsidi ke non subsidi seperti di tempat-tempat lain. Di Nunukan Duta Bright Gas berhadapan dengan produk gas negara lain dan mengajak masyarakat bangga pakai produk gas negeri sendiri.
Di tahap awal ini juga Pertamina mendukung dengan menyuplai 500 tabung kemasan 12 kg per bulan. Thesaufi juga menegaskan Pertamina siap menambah kapasitas kapal yang mengangkut elpiji langsung dari Balikpapan sambil menunggu selesainya pembangunan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) di Tarakan.
“Kalau SPBE sudah jadi, suplai akan lebih cepat dan stok akan lebih terjaga,” tandasnya.
Bupati Laura menutup sambutannya di acara deklarasi itu dengan mengingatkan sejarah Nunukan menjadi titik konfrontasi Dwikora melawan Malaysia di masa Orde Lama.
“Nunukan adalah Kota Perjuangan. Tugu Dwikora masih berdiri kokoh sebagai bukti. Ayo sama-sama kita kobarkan Api Cinta Indonesia di perbatasan,” tegas Laura.
Tugu itu ada di alun-alun Kota Nunukan. Sebuah tank marinir tampak gagah siapa melindas siapa saja musuh bangsa.
***
Sesudah deklarasi itu, tutur staf Humas MOR VI Didi Kusuma, Bupati Laura mau didemo oleh para pengecer gas Malaysia, walau tidak ada laporan apakah demonstrasi itu jadi atau tidak. Yang ada laporannya justru sejumlah kendala yang muncul.
“Masyarakat bertanya apa bisa tabung Pertamina ditukar dengan tabung Petronas atau Shell, atau malah apa tabungnya bisa gratis saja, hitung-hitung minta maaf karena baru saja setelah sekian puluh tahun Pertamina melayani,” beber Didi.
Memang, untuk mendapatkan gas asli Indonesia, orang harus beli tabung biru 12 kg, atau tabung pink 5,5 kg. Harga tabung biru itu Rp580-650 ribu per buah.
“Lah ini kan saya ada tabung hijau ini. Kalau habis tinggal tukar yang isi, cukup bayar Rp250 dapat 14 kg. Kenapa saya mesti keluar duit beli tabung baru Rp650 ribu terus dapat hanya 12 kg ba,” kata Basri, warga Nunukan Selatan.
Singkat kata, sebut Basri, elpiji Indonesia tidak menarik. Kalau ASN tentu punya alasan untuk patuh pada perintah Bupati. Kalau warga masyarakat biasa, ujarnya, tentu hanya menggunakan pertimbangan mana yang lebih menguntungkan secara nyata saja daripada menelan slogan-slogan saja.
“Apalagi banyak warga yang punya lebih dari satu tabung Petronas atas Shell, itu bagaimana coba,” kata Basri lagi. Belum lagi warga yang tinggal di desa-desa lebih ke pedalaman lagi. Ia pun meminta Pertamina dan Bupati Laura mencari jalan keluar dan penyelesaian yang memuaskan bagi masyarakat.
Thesaufi mengakui ia sudah juga mendengar hal-hal tersebut. Ia dan timnya terus menjalin komunikasi dengan Bupati dan terus mencari inovasi untuk masalah itu.
“Kami sadari mengubah pola pikir, pola konsumsi, itu tidak mudah, apalagi untuk hal-hal yang sudah berurat berakar seperti penggunaan tabung gas Malaysia ini,” kata Thesaufi.
Inovasi marketing atau pemasaran standar setidaknya sudah dimulai. Untuk pembelian elpiji 12 kg atau Bright Gas 5,5 kg tabung isi ulang ada kupon yang diikutkan undian berhadiah. Pertamina menyediakan berbagai barang elektronik seperti kulkas, dispenser, dan banyak regulator gas.
Jalan si biru 12 kg dan saudara-saudara tabungnya yang lain untuk berdaulat di Nunukan sepertinya masih akan panjang. (Novi Abdi)
BACA JUGA