Top Header Ad

Minim Pengawasan, Dosen Unmul Usul Mekanisme Pembelian Elpiji 3 Kg Terapkan Teknologi

Hairul Anwar

BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Penjualan LPG 3 Kg minim pengawasan, hal ini disinyalir menjadi salahsatu pemicu kelangkaan tabung gas melon.

Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Hairul Anwar mengatakan, sejak Indonesia melakukan migrasi bahan bakar rumah tangga dan industri dari minyak tanah ke gas, maka harus didukung kebijakan negara.

“Harus populis, kan ada unsur politiknya. Semua sadar itu. Aturan dibuat, yang masyarakat mampu enggak boleh membeli LPG 3 Kg dan segala macam, cuma yang tidak ada itu bagaimana mekanisme pengawasannya. Karena gas kita tidak punya barcode,” ujar Hairul, dihubungi inibalikpapan.com, Rabu (2/8/2023).

Ia mencontohkan, tabung gas industri biasanya diberi nomor. Hal ini diketahuinya saat melakukan tender penyediaan tabung gas untuk suatu rumah sakit di Banda Aceh.

Sementara sampai saat ini tidak ada alat kontrol yang bisa membatasi mekanisme pembelian LPG 3 Kg.

Kemudian hal sulit yang lain, kata dia, terkait dengan UMKM yang sudah berkembang.

“Bertambah setiap hari dan pengusaha semakin mudah berkreasi seperti membangun usaha warung kopi, kafe, atau kedai yang semuanya menggunakan gas sebagai bahan bakar industrinya. Termasuk usaha nasi goreng atau tahu tek tek juga menggunakan gas,” katanya.

Menurut Hairul, bentuk usaha tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga-harga barang. Akibatnya suplai dan demand gas di pasar mengakibatkan harga melambung tanpa terkontrol.

“Salahsatunya dipengaruhi pertumbuhan UMKM. Dalam hal ini jangka pendeknya mau tidak mau baku rata, tetapi masalahnya terselesaikan,” ungkapnya.

“Selama ini tidak ada yang mengawasi, belum lagi mekanismenya seperti apa, jadi saya pikir ini jaman teknologi yang tidak lagi 4.0 tapi sudah 5.0 maka teknologi dipakai. Terserah, mau membelinya tidak perlu tunai lagi, pakai mekanisme non tunai jadi lebih terkontrol. Siapa saja yang membeli,” tambahnya.

Melalui hal itu, diharapkan ada upaya kontrol mekanisme penjualan LPG 3 Kg.

“Misalnya, mohon maaf, yang termasuk warga miskin tapi kalau belinya sering maka bisa terkontrol. Jadi bagi saya harus pakai teknologi. Minimal transaksinya bisa kita cek. Sederhana bagi saya, bisa juga memodifikasi pakai chip di tabung gas. Kita bisa tracking. Sesekali kita tracking. Teknologi itu tidak mahal dan harus dicoba,” terangnya.

Hairul menilai, masyarakat mampu adalah kalangan terpelajar yang seharusnya menyadari bahwa elpiji 3 Kg bukan haknya.

“Mbok, sekali-sekali dipakai urat malunya. Itu bukan gengsi beli tabung gas LPG 3 Kg, namanya kemampuan. Kalau ingin dianggap orang mampu, kaya, buat apa turun kelas lagi,” katanya.

“Kami khawatir yang bergerak nanti masyarakat. Rawan menimbulkan gesekan di bawah. Nanti kalau antri, ternyata ada yang menunjuk orang lain, wah kamukan kaya. Ini kan yang bisa terjadi gesekan di bawah,” ulasnya. 

Ia menegaskan agar pemangku kebijakan lebih memanfaatkan teknologi dengan memberi tanggungjawab lebih kepada distributor, agar menerapkan kontrol pembelian ke agen-agen yang lebih kecil, serta memperhatikan hal-hal yang berkembang dan berpotensi mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan.

“Karena sampai saat ini tidak ada pengawasan. Aturan tanpa pengawasan sama saja dengan penganiayaan. Sama seperti kita membuat KUHP dan sebagainya tanpa polisi, tidak berjalan,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.