Mobilitas Tinggi, Jurnalis Berpotensi Alami Kekerasan Seksual
MALANG, Inibalikpapan.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Malang bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), USAID, dan Internews menggelar pelatihan Gender dan Kekerasan Seksual selal dua hari Jumat dan Sabtu 19-20 November 2021.
Ketua AJI Malang, Mohammad Zainuddin mengatakan pelatihan ini sangat penting bagi jurnalis. Sebab profesi jurnalis menuntut mobilitas tinggi di lapangan. Pemahaman dan pembekalan ketrampilan akan kekerasan seksual diharapkan mampu melindungi jurnalis yang bertugas menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, pemahaman yang baik juga akan berdampak pada produk jurnalistik yang memiliki perspektif gender.
“Jadi, wartawan atau editor tidak mengabaikan kode etik ketika menulis atau mengedit berita. Secara khusus, wartawan yang mengenali bentuk kekerasan seksual memiliki ketrampilan untuk terhindar menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual,” kata Zainuddin.
Menurutnya, selama ini banyak yang tidak bisa membedakan antara seks dan gender. Bahkan banyak yang melihat gender melekat sesuai dengan seks atau jenis kelamin biologis. Sedangkan seks berbeda dengan gender. Akibatnya, ketidakadilan gender juga dirasakan oleh jurnalis, terutama dalam bentuk kekerasan seksual.
“Pandangan kuat tentang peran gender melekat dengan seks sering menyulitkan jurnalis untuk mengenali bentuk kekerasan seksual. Sehingga terkadang membuat kita merespon kekerasan seksual dengan tidak tepat ,” kata Zainudin.
Sehingga pemahaman tentang gender dan kekerasan seksual diharapkan mampu memberikan pengetahuan sekaligus memberikan ketrampilan untuk bertindak dengan tepat, ketika berada atau melihat peristiwa tersebut.
Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dari sejumlah mini survei di Lampung dan Jakarta menemukan sejumlah jurnalis pernah mengalami pelecehan seksual yang berkaitan dengan tugasnya. Lokasi kekerasan seksual terjadi di kantor pemerintahan, di rumah narasumber, gedung DPR atau DPRD, pelabuhan, kantor, kampus, kantor partai, transportasi publik, ketika mengikuti giat aparat, pers room, hingga kekerasan seksual berbasis siber yang dilakukan narasumber.
Kekerasan juga terjadi tanpa mengenal waktu, dan dengan pelaku beragam. Mulai dari pejabat publik, narasumber non-pejabat public, atasan di kantor, teman sekantor, sesama jurnalis beda kantor, massa aksi, aparat, dosen, dan lainnya.
Survei AJI Lampung tahun 2021, menunjukkan dari 30 responden, enam persen jurnalis pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja dan 36 persen saat mereka meliput di lapangan. Mini survei AJI Jakarta pada Agustus-Desember 2020 juga menunjukkan hal serupa. Dalam survei tersebut didapatkan data, ada 34 jurnalis yang terdiri dari 31 perempuan dan 3 laki-laki dari berbagai kota yang mengisi survei ini.
“11 orang melaporkan kasus tersebut, 19 orang tidak pernah melapor, sembilan orang malu, lima orang takut disalahkan, 10 orang takut tidak dipercaya, 12 orang tidak punya cukup bukti, empat orang menyatakan tidak punya dukungan, lima orang diintimidasi pelaku, 18 orang menyatakan tidak adanya gunanya melapor satu orang menganggap tidak penting untuk melapor,” kata Anna Djukana, pengurus Divisi Gender AJI Indonesia, dalam acara tersebut.
Anna menekankan ketrampilan mengenali dan membela diri penting bagi jurnali, selain manajemen ruang redaksi yang idealnya menerapkan pendekatan gender dan hak asasi manusia dalam mengelola pekerja di dalamnya.
BACA JUGA