Top Header Ad

Pemetaan Daya Saing Digital, Balikpapan Teratas di Kalimantan

Kota Balikpapan masuk zona merah covid-19

BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com — Kota Balikpapan menempati urutan teratas di Pulau Kalimantan dalam pemetaan daya saing digital Indonesia yang disigi East  Ventures  –  Digital  Competitiveness  Index  (EV-DCI)  2020. Peringkat itu diperoleh berdasarkan sembilan parameter, antara lain penggunaan teknologi informasi, infrastruktur, sumber daya manusia, regulasi, kapasitas pemerintah daerah, dan sebagainya.

Balikpapan  menjadi  kota  dengan  skor  EV-DCI  tertinggi  di  Kalimantan,  yaitu  sebesar  44,2. Pilar perekonomian di kota  ini  mendapatkan  skor  53,8.  “Dari  sisi  input,  SDM  bidang  digital  memiliki  skor  4,1  dan  perlu ditingkatkan,” kata  Willson  Cuaca,  Co-founder  &  Managing  Partner  East Ventures.

Namun penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi (ICT)  di  Balikpapan termasuk tinggi  dengan  skor  64,4.  Sementara  itu,  kewirausahaan  terkait  digital  belum  cukup  berkembang  dan mendapatkan  skor  30,1.  Pilar-pilar  pendukung  di  Balikpapan  tidak  ada  yang  menonjol.  Hanya  infrastruktur  yang mendapatkan  skor  cukup  tinggi  sebesar  65,0.  Sementara  pilar  keuangan  dan  regulasi/  kapasitas  pemda  masingmasing  mendapatkan  skor  46,4  dan  46,3.  “Meski  berada  di  kisaran  40an,  pilar  keuangan  relatif  tinggi dibandingkan  kota  lainnya,” kata Wilson dalam pernyataan tertulis.

Berbeda  dengan  Balikpapan,  Ibu  Kota  Provinsi  Kalimantan  Timur,  Samarinda,  justru  berada  pada  peringkat  21 dengan  skor  43,1.  Pilar  yang  mendapatkan  skor  tertinggi  di  kota  ini  adalah  penggunaan  ICT  dengan  skor  63,2. Pilar  lainnya  mendapatkan  skor  di  bawah  60.  Pilar  SDM  masih  sangat  rendah  dengan  skor  4,01. 

Perekonomian bidang  digital  termasuk  yang  terendah  di  antara  kota  besar  lainnya  dengan  skor  53,0.  Selain  itu,  pilar ketenagakerjaan  mendapatkan  skor  terendah  dibandingkan  kota  besar  lain,  yaitu  49,1.  Pilar  regulasi  dan kapasitas  pemda  di  Samarinda  sebesar  58,6. Secara  umum,  perkembangan  ekonomi  digital  yang  cukup  pesat  tersebut  memberikan  dampak  positif,  seperti tumbuhnya  berbagai  platform  jual-beli  online  (e-commerce),  transportasi  online  (ride  hailling),  jasa  keuangan online  (financial  technology),  hingga  digitalisasi  pariwisata  (online  travelling).  Ini  membuat  ekosistem  ekonomi digital  Indonesia  semakin  beragam.

Meski begitu, secara umum Kaltim  memiliki  performa  paling  baik  di antara provinsi lain di luar Jawa pada   pilar  penggunaan  ICT. Kaltim meraih skor  72,8  (ke-4).  Hal tersebut  didukung  karena  rasio  kepemilikan  handphone  dan  komputer  di  provinsi  ini  tergolong  tinggi. 

Selain penggunaan ICT, Kaltim  juga  memilki  skor  cukup  tinggi  dalam  hal  regulasi  dan  kapasitas  pemda  (43,7;  ke-9). Pilar ini  mendapatkan  dukungan  dari  indikator  angka  partisipasi  kasar  SMA/  SMK  yang  memiliki  skor  tertinggi di  Indonesia  (100).   Sementara  dukungan  infrastruktur  di  Kaltim  memiliki  skor  menengah  yaitu  43,5  (ke-19).  Sedangkan untuk  inklusi  keuangan  masih  memiliki  ruang  untuk  berkembang  (39,7;  ke-9). 

Dari semua  pilar  input  yang  dinilai, SDM merupakan pilar  dengan  nilai  terendah  (20,2;  ke-14).  SDM yang masih  rendah  dikarenakan  perguruan  tinggi dengan  pogram  studi  digital  masih  sangat  rendah  (7,6;  ke-17)  sehingga  jumlah  mahasiswa  yang  diharapkan menjadi  sumber  SDM  juga  rendah  (8,7;  ke-16).  Keterbatasan  di  SDM  membuat  perekonomian  di  sektor  digital juga  kurang  berperforma  baik  dan  mendapatkan  skor  19,9  (ke-27).  Kewirausahaan  sektor  informasi  dan komunikasi  juga  memiliki  skor  rendah  (30,7), tetapi  relatif  lebih  baik  dibandingkan  kebanyakan  provinsi  (ke-9).  

Pulau  Jawa  memang  memimpin  pada  hampir  semua  pilar  pembangunan  EV-DCI.  Namun,  Kalimantan  Timur menjadi  provinsi  di  luar  Pulau  Jawa  dan  Bali  yang  mampu  menempati  posisi  8  nasional  dengan  skor  EV-DCI  37,9. Keberadaan  provinsi  ini  di  posisi  tersebut  cukup  melebihi  ekspektasi  karena  melebihi  provinsi lain, terutama  Bali dan  Jawa  Tengah. 

Penetrasi Internet di Indonesia

EV-DCI mencatat adanya peningkatan penetrasi  internet  di Indonesia seiring  membaiknya  infrastruktur  digital  di  seluruh wilayah  Nusantara. Hal itu  membuat  Indonesia  menjadi  pasar  yang  menarik  untuk  ekonomi  digital.  Jumlah  penduduk yang  mencapai  264  juta  jiwa  dengan  pengguna  internet  yang  mencapai  171  juta  pelanggan  menunjukkan  bahwa adanya  potensi  untuk  berkembang.

Hasil  pemetaan  daya  saing  digital  Indonesia  melalui  East  Ventures  –  Digital  Competitiveness  Index  (EV-DCI)  2020 menunjukkan  bahwa  secara  umum  EV-DCI  Indonesia  bernilai  27,9.  Dengan  skala  0-100,  angka  ini memperlihatkan  bahwa  daya  saing  digital  Indonesia  masih  terbilang  rendah.  Artinya,  Indonesia  memiliki  potensi besar  untuk  mendorong  pertumbuhan  ekonomi  digital.

Berdasarkan  pada  9  pilar  yang  menjadi  alat  ukur  EV-DCI,  pilar  penggunaan  ICT yang  mendapatkan  nilai  tertinggi. Ini  berarti  dari  segi  infrastruktur,  Indonesia  tergolong  paling  siap  dalam ekonomi  digital.  Sedangkan,  pilar  sumber  daya  manusia  (SDM)  dan  kewirausahaan  merupakan  dua  pilar  dengan skor  terendah  yang  menandakan  bahwa  Indonesia  harus  bekerja  keras  untuk  menyiapkan  SDM  dan kewirausahaan  untuk  menghadapi  ekonomi  digital.

“Dalam  tiga tahun  terakhir,  porsi  tenaga  terampil  dan  profesional  tercatat  meningkat  hampir  di  semua  sektor  lapangan  usaha yang  terkait  digital,” imbuh Wilson Cuaca.  Kondisi  ini  menunjukkan  bahwa  dengan  kemajuan  digital,  persaingan  di  pasar  kerja  lebih kompetitif  dan  pekerja  terampil  dapat  lebih  unggul. 

Sektor Informasi  dan  Komunikasi  yang  menjadi  tulang punggung  ekonomi  digital  mencatatkan  peningkatan  tertinggi  dengan  15,8%. Di sisi lain, perkembangan  ekonomi  digital  juga  berdampak  negatif.  Ini  terlihat  dari  banyaknya  perusahaan  retail yang  menutup  gerainya,  perusahaan  taksi  yang  mengurangi  jumlah  armada  secara  signifikan,  serta  perbankan yang  menutup  sebagian  kantor  cabang.  Mereka  harus  menghadapi  persaingan  ketat  dengan  para  pemain digital,  seperti  e-commerce,  transportasi  online  dan  financial  technology.

Dampak  negatif  ini  juga  dirasakan  oleh  para  pekerja  yang  tidak  atau  kurang  terampil.  Di  daerah-daerah  dengan daya  saing  digital  yang  cukup  tinggi,  porsi  pekerja  rentan  digitalisasi  mengalami  penurunan.  DKI  Jakarta, Banten,  dan  Jawa  Barat  sebagai  daerah  yang  masuk  dalam  5  besar  dengan  daya  saing  digital  tertinggi, mengalami  penurunan  porsi  pekerja  rentan  yang  tertinggi.

“Industri  digital  adalah  perekonomian  yang  berbasis  penguasaan  teknologi  dan  pengetahuan  (knowledge  based economy),  bukan  bertumpu  pada  penguasaan  aset.  Ini  membuka  kesempatan  yang  sama  bagi  perusahaan- perusahaan  rintisan  untuk  mengambil  peran  sentral  dalam  membangun  ekonomi  digital  Indonesia  bersama korporasi  raksasa  dan  perusahaan  multinasional,”  kata  Willson  Cuaca,  lagi.

Dia  menambahkan ekonomi digital Indonesia harus hadir dengan semangat inklusif.  Para pengguna baru internet di Tanah Air  tidak  hanya  merasakan  perubahan  gaya  hidup,  tetapi  juga  menikmati  manfaat  ekonominya. Pedagang  kecil  yang  membuka  lapak  di  e-commerce,  mitra  pengemudi  layanan  on-demand,  hingga  pemilik warung  yang  menerima  pembayaran  listrik  kini  ikut  berkontribusi  menggerakan  ekonomi  Indonesia.

East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI)  adalah  upaya  perusahaan  untuk  memetakan  dampak perkembangan  ekonomi  digital  di  seluruh  Nusantara.  Ekonomi  digital  menjanjikan  inklusivitas,  pemerataan peluang  ekonomi  bagi  seluruh  penduduk  Indonesia.  Indeks  ini  adalah  indikator  dari  keberhasilan  industri  digital dalam  mewujudkan  janjinya. Data yang dikumpulkan  dalam  EV-DCI  bukan  ditujukan  sebagai  sebuah  kesimpulan.  Indeks  ini  adalah  titik  awal yang  memulai  fase  berikut  dari  transformasi  digital  Indonesia. 

“Kami ingin  mendorong  semua  pemangku kepentingan  untuk  ikut  terlibat  dan  turut  menikmati  dampak  positif  ekonomi  digital,”  katanya. Dari data yang  disajikan  oleh  EV-DCI,  para  pemangku  kepentingan  dan  sektor  publik  dan  sektor  swasta  bisa saling  membandingkan  tingkat  pemanfaatan  teknologi  digital  di  wilayah  masing-masing. 

“Harapan kami, para pemimpin  di  tiap  daerah  semakin  terpacu  untuk  berlomba  menciptakan  ekosistem  yang  terbaik  bagi perkembangan  ekonomi  digital,  baik  lewat  pembangunan  infrastruktur,  pengembangan  talenta,  maupun regulasi  yang  tepat.” Bagi para pemain  besar  di  industri  teknologi  Indonesia,  EV-DCI  bisa  menjadi  panduan  untuk  melangkah  lebih jauh  dari  kota-kota  besar  ke  seluruh  pelosok  Tanah  Air,  untuk  membantu  lebih  banyak  bangsa  Indonesia menikmati  manfaat  perekonomian  digital.  Walaupun  terkadang  hitung-  hitungan  ekonominya  kurang menguntungkan,  tapi  ada  cerita  besar  di  balik  pemerataan  digital  di  Indonesia  dan  itu  membutuhkan  hati  yang mau  membantu  yang  tertinggal.

Untuk  mereka  yang  akan  atau  baru  merintis  bisnis,  EV-DCI  adalah  sebuah  peta  peluang.  Data  yang  menunjukkan bahwa  perjalanan  industri  digital  Indonesia  masih  panjang. Pengalaman  East  Ventures  selama  10  tahun  bekerja  sama  dengan  para  founder  Indonesia,  katanya, menunjukkan  bahwa  kearifan  lokal  adalah  aset  yang  tak  tergantikan  dalam  membangun  perekonomian  digital Nusantara.  EV-DCI  adalah  kontribusi  kecil  dari  kami,  benih  wawasan  yang  kami  harap  bersemai  menjadi  ribuan gagasan.

East  Ventures  kini  telah  berinvestasi  di  lebih  dari  170  perusahaan  startup  termasuk  sebagai  investor  pertama yaitu  Tokopedia  dan  Traveloka.  Ia juga  menjadi  pemodal  pertama  di  Kudo,  Warung  Pintar,  IDN  Media, Sociolla,  Waresix,  dan  Ruangguru.  Hampir  semua  dari  170  startup  tersebut  memiliki  founder  lokal  yang  belum pernah  mengelola  perusahaan.  (cah)

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.