Perang Saudara Sudan Libatkan Kendaraan Pasokan UAE Buatan Prancis
KHARTUM, inibalikpapan.com – Sebuah studi baru laporkan jumlah warga meninggal karena perang saudara di Sudan jauh lebih tinggi daripada laporan sebelumnya.
Amnesty International mengatakan milisi Rapid Support Forces, pasukan pemberontak Sudan, gunakan kendaraan pasokan dari Uni Emirat Arab yang dilengkapi dengan perangkat keras Prancis.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa persenjataan yang dirancang dan diproduksi di Prancis digunakan secara aktif di medan perang di Sudan,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty Agnès Callamardpada hari Kamis (14/11/2024)
Sistem pertahanan Galix dibuat di Prancis oleh perusahaan KNDS dan Lacroix. Galix digunakan pasukan darat guna membantu melawan serangan jarak dekat.
Amnesty mengatakan senjata tersebut dapat digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
Pihak Amnesty juga menambahkan bahwa pemerintah Prancis harus memastikan perusahaan “segera menghentikan pasokan sistem ini ke UEA.
Dikatakan bahwa UEA dan Prancis memiliki kemitraan jangka panjang di sektor pertahanan.
Hal ini mengutip laporan parlemen yang menunjukkan bahwa perusahaan Prancis telah mengirimkan sekitar 2,6 miliar euro dalam bentuk peralatan militer ke UEA antara tahun 2014 dan 2023.
Amnesty mengatakan bahwa mereka telah menghubungi perusahaan yang terkena dampak dan otoritas Prancis mengenai penggunaan sistem pertahanan tersebut tetapi tidak mendapat tanggapan.
“Jika Prancis tidak dapat menjamin melalui kontrol ekspor, termasuk sertifikasi pengguna akhir, bahwa senjata tidak akan diekspor kembali ke Sudan, Prancis seharusnya tidak mengizinkan transfer tersebut,” katanya.
Jumlah Korban Tewas di Sudan Selama Setahun Perang Saudara
Studi dari Kelompok Riset Sudan dari Sekolah Higiene dan Kedokteran Tropis London, seperti dikutip dari BBC, sebutkan lebih dari 61.000 orang telah meninggal di negara bagian Khartum, kawasan mulainya perang tahun lalu lalu
Dari jumlah tersebut, 26.000 orang tewas sebagai akibat langsung dari kekerasan. Dengan catatan bahwa penyebab utama kematian di seluruh Sudan adalah penyakit yang sebenarnya dapat dicegah serta kelaparan.
Lebih banyak orang telah meninggal di tempat lain di negara itu, terutama di wilayah barat Darfur dimana terjadi kekejaman dan pembersihan etnis.
Para pekerja bantuan mengatakan konflik di Sudan telah menciptakan krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan ribuan orang berisiko kelaparan.
Sampai saat ini, PBB dan badan-badan bantuan lainnya telah menggunakan angka 20.000 kematian yang telah terkonfirmasi.
Karena pertempuran dan kekacauan di negara itu, belum ada pencatatan sistematis tentang jumlah orang yang tewas.
Studi ini muncul saat kelompok hak asasi manusia mengatakan adanya penggunaan teknologi militer Prancis dalam konflik tersebut dimana hal ini melanggar embargo senjata PBB.
Embargo Senjata di Darfur Dua Dekade Lalu
PBB memberlakukan embargo senjata di Darfur pada tahun 2004 pertama kali menyusul tuduhan pembersihan etnis terhadap penduduk non-Arab di wilayah tersebut.
Amnesty telah menyerukan perluasan embargo ke seluruh Sudan, dan untuk memperkuat mekanisme pemantauannya setelah pecahnya perang saudara.
Amnesty mendesak semua negara untuk menghentikan pasokan senjata secara langsung dan tidak langsung kepada faksi-faksi yang bertikai di Sudan.
RSF paramiliter, yang dipimpin oleh jenderal Mohamed Hamdan Daglo, telah berperang dengan tentara reguler Sudan di bawah pimpinan Abdel Fattah al-Burhan sejak April 2023.
Kedua mantan sekutu itu saling angkat senjata dalam perebutan kekuasaan yang sengit.
RSF membantah tuduhan melakukan pembersihan etnis di Darfur dan menyalahkan milisi lokal.
Kedua pihak dituduh melakukan kejahatan perang, dengan pertempuran yang terus berlangsung yang menyebabkan ribuan orang tewas dan jutaan orang mengungsi.
Pada bulan Agustus, sebuah komite ahli dukungan PBB mengumumkan kondisi kelaparan di beberapa wilayah Darfur.
Pimpinan Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan kelaparan “hampir terjadi di mana-mana” setelah kunjungan ke negara itu sebulan kemudian.
“Situasi di Sudan sangat mengkhawatirkan… pengungsian besar-besaran – sekarang menjadi yang terbesar di dunia, dan, tentu saja, kelaparan,” kata direktur jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada BBC.
Namun, pertemuan antara perang, kelaparan, pengungsian, dan penyakit di Sudan terlupakan oleh perang di Ukraina dan Timur Tengah.
Penelitian Sudan Research Group menemukan bahwa 90 persen kematian di Khartum tidak tercatat, yang menunjukkan kemungkinan situasi serupa di wilayah lain.
Mayson Dahab, peneliti utama, mengatakan bahwa mereka tidak memiliki data yang cukup untuk memperkirakan tingkat kematian di wilayah lain di negara itu. Penelitian juga tidak bisa menentukan berapa banyak kematian secara keseluruhan yang terkait dengan perang.
BACA JUGA