Performa Kaltim Terbaik Dalam Penggunaan ICT

BALIKPAPAN, Inibalikpapan—Meningkatnya penetrasi internet seiring dengan membaiknya infrastruktur digital di seluruh wilayah Nusantara membuat Indonesia menjadi pasar yang menarik untuk ekonomi digital. Jumlah penduduk yang mencapai 264 juta jiwa dengan pengguna internet yang mencapai 171 juta pelanggan menunjukkan bahwa adanya potensi untuk berkembang.

Hasil pemetaan daya saing digital Indonesia melalui East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2020 menunjukkan bahwa secara umum EV-DCI Indonesia bernilai 27,9. Dengan skala 0-100, angka ini memperlihatkan bahwa daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah. Artinya, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

Berdasarkan pada 9 pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, pilar penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang mendapatkan nilai tertinggi. Ini berarti dari segi infrastruktur, Indonesia tergolong paling siap dalam ekonomi digital. Sedangkan, pilar sumber daya manusia (SDM) dan kewirausahaan merupakan dua pilar dengan skor terendah yang menandakan bahwa Indonesia harus bekerja keras untuk menyiapkan SDM dan kewirausahaan untuk menghadapi ekonomi digital.

Pulau Jawa memang memimpin pada hampir semua pilar pembangunan EV-DCI. Namun, Kalimantan Timur menjadi provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali yang mampu menempati posisi 8 nasional dengan skor EV-DCI 37,9. Keberadaan provinsi ini di posisi tersebut cukup melebihi ekspektasi karena melebihi provinsi lain, terutama Bali dan Jawa Tengah.

Kaltim memiliki performa paling baik di pilar penggunaan ICT dengan skor 72,8 (ke-4). Hal tersebut didukung karena rasio kepemilikan handphone dan komputer di provinsi ini tergolong tinggi. Selain penggunaan ICT, Kaltim juga memilki skor cukup tinggi dalam hal regulasi dan kapasitas pemda (43,7; ke-9). Pilar ini mendapatkan dukungan dari indikator angka partisipasi kasar SMA/ SMK yang memiliki skor tertinggi di Indonesia (100). 

Sementara dukungan infrastruktur di Kaltim memiliki skor menengah yaitu 43,5 (ke-19). Sedangkan untuk inklusi keuangan masih memiliki ruang untuk berkembang (39,7; ke-9). Dari semua pilar input yang dinilai, SDM merupakan pilar dengan nilai terendah (20,2; ke-14). SDM yang masih rendah dikarenakan perguruan tinggi dengan pogram studi digital masih sangat rendah (7,6; ke-17) sehingga jumlah mahasiswa yang diharapkan menjadi sumber SDM juga rendah (8,7; ke-16). Keterbatasan di SDM membuat perekonomian di sektor digital juga kurang berperforma baik dan mendapatkan skor 19,9 (ke-27). Kewirausahaan sektor informasi dan komunikasi juga memiliki skor rendah (30,7), tetapi relatif lebih baik dibandingkan kebanyakan provinsi (ke-9). 

Adapun untuk kota, Balikpapan menjadi kota dengan skor EV-DCI tertinggi di Kalimantan, yaitu sebesar 44,2. Kota ini merupakan pusat bisnis dan industri, sekaligus memiliki perekonomian terbesar di Kalimantan. Pilar perekonomian di kota ini mendapatkan skor 53,8. Dari sisi input, SDM bidang digital memiliki skor 4,1 dan perlu ditingkatkan. Penggunaan ICT di kota yang berdekatan dengan lokasi ibu kota Indonesia yang baru ini termasuk tinggi dengan skor 64,4.

Sementara itu, kewirausahaan terkait digital belum cukup berkembang dan mendapatkan skor 30,1. Pilar-pilar pendukung di Balikpapan tidak ada yang menonjol. Hanya infrastruktur yang mendapatkan skor cukup tinggi sebesar 65,0. Sementara pilar keuangan dan regulasi/ kapasitas pemda masingmasing mendapatkan skor 46,4 dan 46,3. Meski berada di kisaran 40an, pilar keuangan relatif tinggi dibandingkan kota lainnya.

Berbeda dengan Balikpapan, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, justru berada pada peringkat 21 dengan skor 43,1. Pilar yang mendapatkan skor tertinggi di kota ini adalah penggunaan ICT dengan skor 63,2. Pilar lainnya mendapatkan skor di bawah 60. Pilar SDM masih sangat rendah dengan skor 4,01. Perekonomian bidang digital termasuk yang terendah di antara kota besar lainnya dengan skor 53,0. Selain itu, pilar ketenagakerjaan mendapatkan skor terendah dibandingkan kota besar lain, yaitu 49,1. Pilar regulasi dan kapasitas pemda di Samarinda sebesar 58,6.

Secara umum, perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat tersebut memberikan dampak positif, seperti tumbuhnya berbagai platform jual-beli online (e-commerce), transportasi online (ride hailling), jasa keuangan online (financial technology), hingga digitalisasi pariwisata (online travelling). Ini membuat ekosistem ekonomi digital Indonesia semakin beragam.

Dampak positif bagi tenaga kerja adalah perubahan pola penyerapan dan komposisi tenaga kerja. Dalam tiga tahun terakhir, porsi tenaga terampil dan profesional tercatat meningkat hampir di semua sektor lapangan usaha yang terkait digital. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan kemajuan digital, persaingan di pasar kerja lebih kompetitif dan pekerja terampil dapat lebih unggul. Sektor Informasi dan Komunikasi yang menjadi tulang punggung ekonomi digital mencatatkan peningkatan tertinggi dengan 15,8%.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital juga berdampak negatif. Ini terlihat dari banyaknya perusahaan retail yang menutup gerainya, perusahaan taksi yang mengurangi jumlah armada secara signifikan, serta perbankan yang menutup sebagian kantor cabang. Mereka harus menghadapi persaingan ketat dengan para pemain digital, seperti e-commerce, transportasi online dan financial technology.

Dampak negatif ini juga dirasakan oleh para pekerja yang tidak atau kurang terampil. Di daerah-daerah dengan daya saing digital yang cukup tinggi, porsi pekerja rentan digitalisasi mengalami penurunan. DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebagai daerah yang masuk dalam 5 besar dengan daya saing digital tertinggi, mengalami penurunan porsi pekerja rentan yang tertinggi.

 “Industri digital adalah perekonomian yang berbasis penguasaan teknologi dan pengetahuan (knowledge based economy), bukan bertumpu pada penguasaan aset. Ini membuka kesempatan yang sama bagi perusahaan- perusahaan rintisan untuk mengambil peran sentral dalam membangun ekonomi digital Indonesia bersama korporasi raksasa dan perusahaan multinasional,” kata Willson Cuaca, Co-founder & Managing Partner East Ventures.

Dia menambahkan ekonomi digital Indonesia harus hadir dengan semangat inklusif. Para pengguna baru internet di Tanah Air tidak hanya merasakan perubahan gaya hidup, tetapi juga menikmati manfaat ekonominya. Pedagang kecil yang membuka lapak di e-commerce, mitra pengemudi layanan on-demand, hingga pemilik warung yang menerima pembayaran listrik kini ikut berkontribusi menggerakan ekonomi Indonesia.

East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) adalah upaya perusahaan untuk memetakan dampak perkembangan ekonomi digital di seluruh Nusantara. Ekonomi digital menjanjikan inklusivitas, pemerataan peluang ekonomi bagi seluruh penduduk Indonesia. Indeks ini adalah indikator dari keberhasilan industri digital dalam mewujudkan janjinya.

Data yang dikumpulkan dalam EV-DCI bukan ditujukan sebagai sebuah kesimpulan. Indeks ini adalah titik awal yang memulai fase berikut dari transformasi digital Indonesia. “Kami ingin mendorong semua pemangku kepentingan untuk ikut terlibat dan turut menikmati dampak positif ekonomi digital,” katanya.

Dari data yang disajikan oleh EV-DCI, para pemangku kepentingan dan sektor publik dan sektor swasta bisa saling membandingkan tingkat pemanfaatan teknologi digital di wilayah masing-masing. “Harapan kami, para pemimpin di tiap daerah semakin terpacu untuk berlomba menciptakan ekosistem yang terbaik bagi perkembangan ekonomi digital, baik lewat pembangunan infrastruktur, pengembangan talenta, maupun regulasi yang tepat.”

Bagi para pemain besar di industri teknologi Indonesia, EV-DCI bisa menjadi panduan untuk melangkah lebih jauh dari kota-kota besar ke seluruh pelosok Tanah Air, untuk membantu lebih banyak bangsa Indonesia menikmati manfaat perekonomian digital. Walaupun terkadang hitung- hitungan ekonominya kurang menguntungkan, tapi ada cerita besar di balik pemerataan digital di Indonesia dan itu membutuhkan hati yang mau membantu yang tertinggal.

Untuk mereka yang akan atau baru merintis bisnis, EV-DCI adalah sebuah peta peluang. Data yang menunjukkan bahwa perjalanan industri digital Indonesia masih panjang.  Pengalaman East Ventures selama 10 tahun bekerja sama dengan para founder Indonesia, katanya, menunjukkan bahwa kearifan lokal adalah aset yang tak tergantikan dalam membangun perekonomian digital

Nusantara. EV-DCI adalah kontribusi kecil dari kami, benih wawasan yang kami harap bersemai menjadi ribuan gagasan. “East Ventures kini telah berinvestasi di lebih dari 170 perusahaan startup termasuk sebagai investor pertama yaitu Tokopedia dan Traveloka. Kami juga menjadi pemodal pertama di Kudo, Warung Pintar, IDN Media, Sociolla, Waresix, dan Ruangguru. Hampir semua dari 170 startup tersebut memiliki founder lokal yang belum pernah mengelola perusahaan. Investasi East Ventures adalah leap of faith atas potensi pemuda-pemudi Indonesia karena di dunia baru industri digital, pengalaman tidak selalu relevan.”  

Tinggalkan Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.