Tarif 32 Persen AS Ditunda, Pemerintah Punya Waktu 90 Hari untuk Lobi dan Perkuat Ekspor

JAKARTA, Inibalikpapan.com– Keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk menunda pemberlakuan tarif khusus sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia selama 90 hari menjadi peluang strategis yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah.
Keputusan yang diumumkan pada 9 April 2025 ini menjadi napas lega sementara di tengah kekhawatiran pelaku usaha nasional, terutama sektor ekspor.
Sebelumnya, mulai 5 April 2025, AS telah menerapkan tarif resiprokal dasar sebesar 10 persen untuk sejumlah negara mitra. Namun, Indonesia dijadwalkan mendapat tarif lebih tinggi—32 persen, jauh di atas tarif untuk Jepang (24 persen), Uni Eropa (20 persen), dan Korea Selatan (25 persen).
Produk Ekspor Unggulan Indonesia Terancam
Penerapan tarif tinggi oleh AS ini berpotensi menghantam kinerja ekspor Indonesia, terutama untuk produk andalan seperti tekstil, furnitur, elektronik, pertanian, dan hasil perikanan. Sektor-sektor tersebut merupakan tulang punggung ekspor nasional dan menyerap jutaan tenaga kerja.
Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menyatakan bahwa pemerintah harus segera mengambil langkah konkret.
“Langkah utama adalah negosiasi aktif agar tarif bisa diturunkan atau setidaknya disamakan dengan negara lain. Selain itu, di dalam negeri, kita harus mendorong daya saing produk agar ekspor tak hanya bergantung pada pasar Amerika, tapi bisa tembus ke Eropa, Timur Tengah, dan Afrika,” ujar Saleh usai dilansir dari laman DPR
BACA JUGA :
Ancaman PHK dan Perlambatan Ekonomi
Penundaan tarif selama 90 hari bukan solusi permanen. Bila negosiasi gagal, tarif 32 persen akan berlaku, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menjadi kenyataan—terutama di sektor padat karya yang mengandalkan pasar AS.
Tak hanya itu, tekanan tarif juga akan memperlambat laju ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Saleh menekankan perlunya investasi di sektor sumber daya manusia, khususnya lewat pelatihan kerja yang terintegrasi dengan kebutuhan industri ekspor.
Perlu Strategi Diplomasi Agresif
Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah membuka ruang untuk negosiasi, termasuk kemungkinan melonggarkan hambatan nontarif terhadap produk AS. Namun, hal ini menuntut kehati-hatian dalam menjaga posisi tawar.
Beberapa pengamat perdagangan internasional mendorong agar pemerintah mengajukan penundaan lanjutan terhadap tarif serta menegosiasikan ulang skema Generalized System of Preferences (GSP), yang selama ini memberi akses preferensial ke pasar AS.
BACA JUGA