Terabaikan di Tanah Sendiri: Kisah Komunitas Adat Balik di IKN Jelang Pilkada 2024
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat adat Suku Balik yang bermukim di lingkar IKN. Mereka menghadapi ketidakpastian pengakuan hak atas wilayah, sementara perhatian pemerintah daerah dan calon pemimpin dalam Pilkada terhadap isu ini masih minim. Lantas, bagaimana mereka melihat kontestasi Pilkada 2024?
Donny Muslim, Penajam Paser Utara
Gemuruh mesin truk pengangkut material proyek memecah keheningan malam di sepanjang jalan utama Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, Sabtu (17/8). Tak hanya membuat perkampungan menjadi bising, iring-iringan angkutan berat itu menimbulkan debu yang beterbangan saban kali melintas.
Di tepian jalan itu, Layla (bukan nama sebenarnya), duduk di sebuah kedai kopi, sembari menatap kondisi kampungnya yang sudah banyak berubah.
Perempuan adat Balik dari Kecamatan Sepaku tersebut tidak pernah membayangkan desanya yang dulu tenang kini dipenuhi dengan kendaraan berat yang lalu lalang hampir 24 jam sehari.
Semua ini terasa sejak dua tahun lalu. Tepatnya ketika pemerintah memulai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di daratan seluas 252.600 hektare, yang membentang dari Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU, hingga Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Wilayah permukiman dan hutan yang dulunya menjadi tempat penghidupan warga kini sebagian disulap menjadi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan Kawasan Pengembangan IKN.
Peta Kecamatan Sepaku yang masuk dalam kawasan Ibu Kota Nusantara. (Sumber: https://petalikn.web.id/map/)
Sebagai warga yang kini tinggal di KIPP IKN, Layla merasa cemas. Ia khawatir masyarakat adat di desanya akan menjadi “anak tiri” di tanah mereka sendiri. Cepat atau lambat, ia merasa tanah dan rumahnya akan diambil oleh Negara. Kekhawatiran yang ia rasakan bukan tanpa alasan. Sebab, tak jauh dari tempat tinggalnya, pembangunan Jalan Tol IKN kini sedang berlangsung. Sekitar 10 kilometer dari kampungnya, gedung-gedung tinggi mulai menjulang, termasuk rusun untuk ASN, kantor-kantor proyek, dan Istana Kepresidenan.
Kekhawatiran itu kian memuncak belakangan ini, dipicu oleh Pilkada. Belum ada calon kepala daerah yang akan berebut kursi bupati dan wakil bupati PPU yang memperhatikan nasib mereka. Jangankan menyebut mereka di visi dan misi, berkampanye ke desa-desa di sana saja sejauh ini jarang dilakukan. Berbeda dengan di Penajam dan sekitarnya, di Sepaku Pilkada tidak terasa meriah. Tak banyak poster-poster calon bertebaran, berbeda dengan daerah di pusat PPU.
Potret pembangunan di lingkar IKN di Desa Pemaluan-Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU. (Donny Muslim/inibalikpapan.com)
Menurut Layla, kekhawatirannya mungkin tidak akan sebesar ini jika ada komunikasi yang baik antara pemerintah pusat, Pemprov Kaltim, dan Pemkab PPU dengan masyarakat adat di kampungnya soal pembangunan di IKN. Namun, komunikasi semacam itu tak pernah terjadi.
“Sejak awal sampai sekarang, pemerintah atau Otorita IKN tidak pernah sekalipun mengadakan pertemuan (di desa kami),” kata Layla kepada inibalikpapan.com. Ia bercerita, pertemuan-pertemuan biasanya terpusat di kecamatan, hanya mengundang beberapa perwakilan desa untuk membicarakan pembangunan IKN.
Selain itu, Layla melihat pemerintah daerah, khususnya Pemkab PPU, terbilang minim menyuarakan isu-isu masyarakat adat. Hal tersebut terbukti dari belum diakuinya keberadaan komunitas adat di Kecamatan Sepaku, meskipun Perda Provinsi Nomor 1 Tahun 2015 telah menginstruksikan agar bupati/walikota membentuk Panitia Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di wilayah masing-masing.
Menurut data yang dihimpun inibalikpapan.com melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kecamatan Sepaku memiliki setidaknya empat komunitas adat: Komunitas Suku Balik Sepaku, Komunitas Suku Balik Pemaluan, Komunitas Adat Mentawir, dan Komunitas Adat Maridan. Meskipun semua wilayahnya sudah terverifikasi, mereka belum mendapat pengakuan sertifikasi resmi. “Kalau untuk pengakuan itu memang belum ada,” ungkapnya.
Kebanyakan yang merasakan dampak pembangunan adalah warga Suku Balik, baik yang ada di Kelurahan Sepaku dan Desa Pemaluan yang kini jumlahnya kurang dari 1.000 jiwa.
Komunitas adat yang telah wilayah Balikpapan hingga Sepaku sejak 16 abad lalu itu menghadapi kegamangan karena hingga saat ini mereka belum mendapat pengakuan dari Negara, sementara keberadaan dan wilayah adatnya seluas 69.577 hektare itu tergerus proyek Ibu Kota Nusantara.
Pengakuan komunitas ini menjadi tuntutan utama masyarakat Suku Balik karena mereka sudah melewati fase-fase yang membuat kehidupan mereka jadi terusik. Sebelum IKN masuk, warga sudah menghadapi perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Geliat perusahaan sudah berlangsung dari 1970 hingga kini. Perusahaan-perusahaan itu meliputi PT Itci Hutani Manunggal (IHM) hingga PT Agro Indo Mas.
***
Minimnya perhatian terhadap aspirasi masyarakat adat oleh pemda, menurut Layla, terasa dalam proses politik, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menurut Layla, proses ini penting karena menjadi pijakan pembangunan. Bukan pada pilkada kali saja, tapi sejak pilkada sebelumnya.
Ketika kampanye Pilkada 2018, misalnya, Layla masih ingat isu-isu yang dihadapi masyarakat adat dan kelompok rentan seperti mereka tidak pernah menjadi perhatian para calon kepala daerah.
Alih-alih mengakomodasi kepentingan masyarakat marjinal seperti pengakuan dan perlindungan komunitas adat, para calon lebih banyak mengkampanyekan isu-isu umum. Ini terlihat dari Pilkada PPU 2018 yang dimenangkan pasangan Abdul Gafur Mas’ud (AGM)-Hamdam. “Visi misi yang disampaikan cuma umum saja,” ungkap Layla.
Dikutip dari laman resmi Pemkab PPU, visi pemerintah daerah ini adalah Terwujudnya Kabupaten Penajam Paser Utara yang Maju, Modern dan Religius.
Sementara itu, di bagian misi Pemkab PPU, ada tercantum poin enam yang berbunyi Menanggulangi Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kerakyatan, Perekonomian Berbasis Perdesaan dan Kelurahan serta Kelompok Minoritas, Terpencil dan Terpinggirkan, Melalui Pembangunan Desa dan Kelurahan serta Pembangunan Kawasan Perdesaan dan Kelurahan.
Visi dan Misi Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) (Tangkapan Layar/Inibalikpapan.com)
Dalam visi-misi yang tercantum, pasangan AGM-Hamdam memang ada menyebut kelompok minoritas terpencil dan terpinggirkan. Namun, pada praktiknya, pemberdayaan kelompok minoritas yang menjadi misi pasangan tersebut dinilai tak terasa.
Begitu juga di Pilkada PPU 2024 kali ini. Isu kelompok minoritas berpotensi tidak dibahas lebih mendalam. Sebab, empat pasang calon kepala daerah yakni Andi Harahap-Dayang Donna Faroek, Hamdam-Ahmad Basir, Mudyat Noor-Abdul Waris, dan Desmon-Naspi luput menyoroti problem pengakuan komunitas dan wilayah adat dalam dokumen visi-misi mereka.
Meski demikian, Layla tetap menaruh harapan pada proses politik elektoral di PPU, khususnya dalam Pilkada 2024. Ia merasa sebagai warga negara yang baik, harus menggunakan hak pilihnya. Namun, kali ini, Layla menegaskan akan lebih jeli dalam memilih calon yang akan bersaing. Syarat utama yang ia tetapkan adalah calon tersebut harus mengutamakan kepentingan masyarakat adat di lingkar IKN.
“Kami tidak mempermasalahkan siapapun yang nyalon, intinya utamakan kami. Kami (di IKN) ini kan sekarang permasalahannya besar. Tolong diperhatikan. Misalkan kami mengeluh, jangan sampai kami teriak-teriak ke atas. Kalau bisa bersosialisasilah kepada kami,” tegasnya.
***
Berbeda dengan Layla yang tetap optimistis menatap Pilkada, Arman Jais, pemuda adat Suku Balik yang tinggal di Sepaku Lama, justru menyuarakan pesimismenya terhadap pentas politik elektoral seperti Pemilu dan Pilkada. “Belum ada pemimpin yang berpihak ke masyarakat adat,” kata Arman.
Arman Jais, pemuda adat Suku Balik di Sepaku Lama. (Donny Muslim/Inibalikpapan.com)
Kekecewaan Arman sudah tertanam sejak melihat kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo selama 10 tahun terakhir. Sebagai pemimpin tertinggi, Jokowi dinilai tidak memiliki keberpihakan karena tidak kunjung meneken Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Menurut Arman, pemimpin yang berpihak kepada masyarakat adat harusnya mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengakomodasi kelompok tersebut. Di tingkat daerah, misalnya, Bupati dan DPRD PPU seharusnya mampu mengeluarkan peraturan-peraturan untuk komunitas Suku Balik di Sepaku.
“Apa yang mereka lakukan untuk masyarakat adat? Apakah mereka sudah mengeluarkan SK Pengakuan Masyarakat Adat? Apakah mereka pernah memberikan SK Hutan Adat? Saya rasa belum ada,” cetusnya.
Rasa pesimis yang dirasakan Arman menjadi semakin kompleks dengan masuknya proyek IKN ke Sepaku. Dalam beberapa waktu ke depan, pmerintah pusat mencanangkan wilayah ini sebagai Pemerintahan Daerah Khusus (Pemdasus). Artinya wilayah Sepaku akan ditangani langsung oleh Badan Otorita IKN, bukan lagi Pemkab PPU.
Arman dan pemuda-pemuda lain sempat menanyakan proses pengakuan komunitas Suku Balik itu ke Pemkab PPU dalam pertemuan-pertemuan yang berhubungan dengan pembangunan IKN. Sebab Pemprov Kaltim sendiri sudah menginstruksikan agar pemkab membentuk Panitia Pengakuan MHA. Namun, tuntutan mereka tak kunjung terjawab lewat kebijakan.
“Katakanlah di Pilkada PPU 2024 nanti mereka (calon kepala daerah) jual janji-janji memenuhi hak-hak masyarakat adat. Itu menurut saya omong kosong. Dalam bentuk apa? Mereka sudah nggak bisa karena kewenangan juga nggak ada,” ujar Arman.
Ketika Pilkada 2024 tetap berlangsung di PPU, Arman bertanya-tanya apa fungsinya mereka ikut Pilkada. “Secara politis suara kami diperlukan, itu yang aneh,” katanya.
Karena persoalan ini, Arman menyatakan sikapnya untuk tidak terlibat dalam Pilkada Kaltim dan Kabupaten PPU, meski KPU setempat menyatakan tahun ini wilayah Sepaku dan sekitarnya tetap ikut dalam Pilkada.
“Saya bukan sudah lelah. Saya senang dapat hak politik itu. Tapi politik itu tidak berguna secara praktis di masyarakat sini,” katanya.
Ketimbang mengurus politik elektoral, saat ini, yang bisa dilakukan Arman dan pemuda-pemuda adat Suku Balik adalah mengembangkan kapasitas para pemuda desa dengan mendirikan sekolah adat.
Sekolah adat yang bersifat nonformal ini diinisiasi sejak dua tahun lalu, tepatnya ketika pembangunan IKN mulai masif didorong oleh pemerintah.
Saban dua kali dalam sebulan, Arman dan pengurus menggelar pertemuan dengan para warga Suku Balik. Mereka belajar pengetahuan lokal seperti sejarah hingga kebudayaan komunitas adat mereka.
Menurut Arman, tujuan dari digagasnya sekolah adat ini semata-mata untuk membuat warga Suku Balik berdaya saing. Secara jangka panjang, bukan tidak mungkin mereka akan mengirimkan perwakilan-perwakilan masyarakat di dalam sistem pemerintahan.
“Sampai saat ini memang belum ada perwakilan kita (di pemerintahan) tapi sekolah adat ini secara tidak langsung akan berdampak secara politis. Negara kemudian akhirnya bisa melihat keberadaan kami,” ujarnya.
Kami mengonfirmasi Pemkab PPU untuk menanyakan apa yang menjadi sumbatan proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di kabupaten tersebut. Penjabat (Pj) Bupati PPU, Makmur Marbun, tidak merespons.
Namun, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) PPU, Tita Deritayati memberikan jawaban singkat. “Terkait hal ini masih dalam proses di bidang teknisnya,” kata dia.
Adapun dari Badan Otorita IKN Otorita Ibu sempat menyoroti pentingnya pengakuan masyarakat adat oleh pemerintah daerah demi kelancaran pembangunan dan perlindungan hak-hak mereka.
Dalam sebuah konferensi bertajuk International Conference on Forest City pada Mei 2024 lalu, Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN, Myrna Safitri, mengungkapkan bahwa belum adanya pengakuan resmi dari pemerintah daerah menjadi hambatan dalam proses ini.
“Kami bukannya tidak ingin mengakui masyarakat adat, tetapi kami perlu mencari dasar hukum yang lebih kuat untuk mengakui mereka,” ujar Myrna dikutip dari Antara.
***
Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdi Akbar, mengakui soal minimnya isu masyarakat adat di pusaran politik elektoral.
Ia menilai persoalan ini sebagai sesuatu yang kompleks. Sebab, dari hulunya, Pilkada sudah terancang membebani para calon untuk mengurusi persoalan-persoalan yang bersifat administratif. Seperti adanya ambang batas partai politik, syarat usia calon kepala daerah, persyaratan calon independen, hingga politik transaksional yang terjadi di kalangan parpol. “Proses pilkada sangat diwarnai dengan huru-hara politik,” kata Abdi kepada inibalikpapan.com.
Beban administratif ini akhirnya membuat parpol dan para calon yang diusung lupa atau abai dengan masalah-masalah substansial yang menyentuh masyarakat. Ini terjadi dari pilkada ke pilkada.
Meski demikian, menurut Abdi, isu masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya bisa didorong dimasukan ke proses debat kandidat di pemilu atau pilkada. Penyelenggara Pilkada seperti KPU dan Bawaslu di PPU bisa menjadikan hal ini sebagai salah satu bahan.
Sebagai gambaran, PB AMAN sendiri berhasil mendorong isu masyarakat adat dalam Debat Pilpres 2024, menjadikan Sekjend PB AMAN Rukka Sombolinggi menjadi salah satu panelis dalam debat.
“Untuk membangun suatu daerah tidak bisa calon itu membicarakan isu-isu sentral saja. Mereka harus mampu menjangkau semua isu,” kata Abdi. Dari debat, publik akan melihat seberapa dekat komitmen para calon kepala daerah terhadap masyarakat adat.
Abdi mengingatkan agar jangan sampai masyarakat adat hanya memiliki hak memilih tetapi hak-hak lainnya tidak diakui oleh pemerintah.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, juga menyoroti problem isu masyarakat adat yang jarang muncul dalam pusaran politik elektoral.
Menurut Bivitri, isu-isu kelompok marjinal memang cenderung berada di pinggiran. Fenomena ini terjadi karena biasanya calon pemimpin daerah tidak terlalu peduli dengan isu-isu seperti itu.
“Yang mereka pedulikan adalah kemenangan, sehingga yang biasanya dibicarakan adalah hal-hal yang terkait dengan kelompok pemilih mereka atau kantong-kantong yang dianggap strategis di suatu daerah,” kata dia.
Untuk mendorong suara-suara kelompok marjinal seperti masyarakat adat terakomodasi dalam Pemilu dan Pilkada, Bivitri lantas mendorong adanya proses supply and demand dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.
“Dari sisi demand, hal ini harus terus didorong oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil, terutama yang memiliki kepentingan langsung, dan itu merupakan hal yang wajar dalam sebuah proses politik.”
“Dari sisi supply, kita juga harus mendorong bersama-sama agar partai politik memperhatikan isu kelompok marjinal,” tambah Bivitri.
Di sisi lain, dalam merespons persoalan minimnya isu masyarakat adat dalam politik elektoral, Pengurus Besar AMAN sejak 2007 sudah mengagendakan perluasan partisipasi politik masyarakat adat agar isu spesifik ini masuk dalam Pemilu dan Pilkada.
Secara konkret, sejak saat itu AMAN kemudian mengirim utusan-utusan masyarakat adat dari perkampungan untuk masuk ke DPR/DPRD dan pemerintahan eksekutif. “Kenapa penting? Karena kan pengabaian hak, penggusuran, perampasan lahan yang terjadi selama puluhan tahun itu salah satunya disebabkan masyarakat adat absen dalam proses politik formal,” ujar Abdi.
Menurut dia, strategi memasukan masyarakat adat ke dalam sistem ini penting dilakukan agar masyarakat adat juga dikenal dan membuktikan bahwa mereka juga memiliki kesempatan yang setara dalam politik praktis.
Dari perhelatan Pemilu 2024 lalu, ada empat dari 32 utusan masyarakat adat dari AMAN yang berhasil menduduki parlemen, baik itu tingkat DPRD kabupaten/kota dan provinsi. “Pencapaian ini menurut kami luar biasa,” ujarnya.
Meski demikian, Abdi mengatakan bahwa upaya memasukan masyarakat adat ini adalah agenda jangka panjang. Penguatan-penguatan kapasitas di tingkat tapak mesti dilakukan, seperti halnya yang dilakukan masyarakat adat Suku Balik di lingkar IKN.
Liputan Kolaboratif
Laporan ini merupakan bagian dari liputan kolaborasi ‘Conflict-Senstivie Reporting’ Pilkada 2024 ini menyoroti isu-isu yang dihadapi oleh lima kelompok marginal: masyarakat adat, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin perkotaan. Dalam hiruk-pikuk kampanye dan persaingan politik, kelompok-kelompok marginal yang rentan terpinggirkan tersebut seringkali terlupakan, sehingga membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, ada kelompok marginal yang hanya dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk kepentingan politik tertentu.
Dalam liputan ODHA dalam Pilkada Banyumas, jurnalis Media Indonesia menemukan fakta yang menunjukkan stigma terhadap ODHA masih terjadi. Di dalam proses Pilkada, ODHA masih ada yang gagal mencoblos. Sebagian besar masih bisa menyalurkan hak pilih karena tidak open status sebagai ODHA. ODHA juga harus membuang jauh-jauh hak untuk dipilih. Kondisi masih belum memungkinkan ODHA menjadi pejabat publik dengan cara dipilih langsung.
Selain itu, para penyelenggara Pemilu belum pernah mengagendakan kegiatan khusus terkait Pilkada untuk ODHA. Selama dua kali pelaksanaan Pilkada Banyumas pada 2013-2018 maupun 2018-2023, para calon juga tidak pernah membawa isu kaum marginal, salah satunya ODHA. Hak-hak mereka masih terpinggirkan dan belum menjadi agenda dalam Pilkada.
Jurnalis Suara.com melaporkan bentuk diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di Pilkada dan Pemilu. Target Pemilu 2024 ramah disabilitas yang terus digaungkan oleh penyelenggara Pemilu ternyata masih jauh panggang dari api. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, masih ditemui banyak pelanggaran penyelenggaraan Pemilu ramah disabilitas. Pelanggaran tersebut meliputi penyandang disabilitas masuk ke dalam DPT umum atau non-disabilitas sehingga tidak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya, TPS tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas fisik, dan temuan 12.284 TPS di Indonesia tidak menyediakan template braille pada Pemilu 2024.
Selain itu, tingkat partisipasi pemilih disabilitas masih rendah karena berbagai persoalan meliputi stigma masyarakat yang malu memiliki anggota keluarga disabilitas sehingga menyembunyikan anggota keluarga tersebut, hak pilih disabilitas diwakilkan oleh anggota keluarga lain, hingga tidak ada pendamping yang mendampingi disabilitas menuju TPS. Di sisi lain, penyelenggara Pemilu masih belum bisa mengurai persoalan tersebut, sebab pendataan di tingkat Pantarlih masih belum memilah secara benar antara pemilih disabilitas dan non disabilitas, dan anggaran sosialisasi yang terbatas sehingga sulit memperbaiki pendidikan masyarakat mengenai hak pilih dalam Pemilu.
Jurnalis Independen.id, yang membahas praktik politik uang selama Pilkada di Surabaya, menemukan praktik ini menargetkan warga miskin. Modus yang digunakan telah berkembang jauh, dari pada awalnya hanya berupa “serangan Subuh” Modusnya mulai dari pemberian uang tunai, sembako, hingga janji pembangunan. Warga miskin yang rentan menjadi sasaran empuk para politisi yang memanfaatkan uang untuk meraih suara.
Politik uang juga ditemukan berdampak terhadap kepercayaan warga atas sistem politik. Warga miskin merasa dibohongi oleh janji-janji para politisi yang tak kunjung terwujud. Meskipun ada upaya pengawasan dan pencegahan dari Bawaslu, tantangannya sulit menangkap pelaku politik uang karena bukti-bukti di lapangan yang tak memenuhi syarat.
Jurnalis Kompas.com menyoroti soal perempuan Sukoharjo yang sering dijadikan sarana meraup suara oleh para calon kepala daerah. Kaum perempuan didekati oleh calon kepala daerah atau timsesnya agar mau menerima program yang mereka tawarkan dan akhirnya memilih sang calon sebagai kapada daerah. Apalagi, di Sukoharjo pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Di berbagai pertemuan ibu-ibu, seperti arisan PKK, posyandu, atau pengajian disusupi permintaan mencoblos calon tertentu sejak jauh-jauh hari. Namun, setelah pesta demokrasi berakhir, nyatanya hampir semua program yang ditawarkan saat kampanye tak ada yang menyentuh kepentingan perempuan. (***)
*Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa
BACA JUGA