Tiga Dekade AJI, Tetap Melawan Ditengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme
JAKARTA, Inibalikpapan.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) telah memasuki 30 tahun atau tiga dekade keberadaannya. Diawali Deklarasi Sirnagalih, dimana sekitar 100-an jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994.
Pada perayaan HUT tahun ini AJI Indonesia mengangkat tema Membangun Resiliensi di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme di Gedung Usmar Ismail, Jakarta pada Jumat(9/8/2024).
Ketua AJI, Nani Afrida menegaskan AJI memerlukan resiliensi dalam menghadapi dua persoalan besar sekaligus, yaitu disrupsi media dan menguatnya otoritarianisme.
“Resiliensi ini artinya kemampuan umum menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan besar,” ujar Nani dalam siaran persnya.
Nani mengatakan dalam aspek otoritarianisme, ditandai dengan tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis baik secara fisik, digital dan seksual. Sayangnya, semua kasus itu berakhir dengan impunitas.
“Tahun ini, terjadi 40 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis baik seksual, digital, fisik,” tegasnya.
Dalam aspek hukum, ada berbagai rancangan undang-undang (RUU), seperti RUU Kepolisian dan beberapa lainnya. Pasal karet dalam RUU ini makin membuat jurnalis sulit bekerja.
Pada saat yang sama, AJI yang berada di 40 kota dan mempunyai 1800 anggota di seluruh Indonesia, melihat ada fenomena disrupsi media yang menyebabkan dunia jurnalisme mengalami situasi yang berat.
Ada penutupan media massa karena sulit bertahan, pemutusan hubungan kerja terhadap jurnalis, dan sengketa antara pemilik media dan pekerja media.
Nani menjelaskan, disrupsi media juga menyebabkan pelanggaran kode etik (melanggar pagar api) seperti jurnalis diminta mencari iklan, gaji jurnalis di bawah UMR.
Saat dunia jurnalisme mengalami penurunan kualitas, justru AI yang mudah digunakan untuk membuat informasi bohong dan hoaks.
“AJI tetap harus bertahan dan profesionalisme jurnalis juga membutuhkan resiliensi,” ujar Nani.
Dalam kesempatan itu, Nani menyatakan solidaritas dan menyerukan kepada dunia untuk memberikan perhatian serius bagi para jurnalis yang terbunuh di Palestina. Hingga saat ini sudah lebih dari 100 jurnalis yang tewas di Palestina sejak Israel melakukan genosida di wilayah itu.
Sementara itu ahli hukum Bivitri Susanti dalam pidato kebudayaannya, mengatakan perjuangan mempertahankan demokrasi adalah sebuah perjuangan panjang penuh tantangan, dan perlu berjejaring.
Jurnalis, aktivis, dan akademisi adalah pilar-pilar menopang demokrasi yang rawan mendapat kekerasan saat kualitas demokrasi menurun.
Ia melihat, jurnalis dengan kerja investigasinya mempunyai peran penting untuk menyuarakan suara kritis. Pasalnya, dalam situasi yang tidak demokratis, transparansi informasi sulit ditemukan.
“Sebagai akademisi, saya sangat diuntungkan dengan adanya laporan investigasi karena bisa dikutip menjadi data,” ujarnya.
Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan saat ini kehidupan pers memiliki tantangan yang tidak kecil. Tantangan ini bersifat sistemik dan jauh berbeda dari 30 tahun lalu.
“Di era digital, kerja-kerja jurnalistik harus berhadapan dengan produk-produk digital di media sosial yang seolah menawarkan kebenaran,” ujarnya.
Pada era digital, jurnalis masih tetap diperlukan karena para influencer dan youtuber di media sosial tidak punya kepekaan kritis untuk menggali kedalaman informasi seperti yang dimiliki para jurnalis.
Ia meminta pemerintah tidak menghalangi jurnalis dalam mencari informasi untuk membuat berita yang kritis. “Sayangnya, pemerintah justru lebih suka dengan influencer daripada jurnalis,” tambahnya.
Dalam kesempatan peringatan ulang tahun AJI ini, juga diumumkan peraih Udin Award yang diperoleh oleh podcast Bocor Alus Tempo.
Salah satu pertimbangannya, menurut perwakilan Dewan Juri Erick Tanjung, Bocor Alus Tempo berani memberitakan isu sensitif yang signifikan bagi kepentingan publik.
“Bocor Alus menginspirasi masyarakat untuk memperjuangkan kebebasan pers dan menjamin kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Sedangkan SK Trimurti Award 2024 diberikan kepada Bunda Rully Mallay, Koordinator Waria Crisis Center Jogja. Ia mendapat penghargaan ini karena sudah mendedikasikan dirinya untuk advokasi kelompok minoritas gender.
Untuk Tasrif Award, ada dua peraih penghargaan ini, yaitu warga Rempang, Batam dan Hendrikus Woro, tokoh adat suku Awyu, Papua.
Untuk Student Award, sebuah penghargaan untuk pers mahasiswa, diberikan kepada Dian Amalia Ariani dari Suara Mahasiswa UI yang membuat karya jurnalistik berjudul, “Kami Yang Tak Sama, Juga Berhak Beragama”.
Ia dipilih sebagai yang terbaik dari 72 karya pers mahasiswa. Karya Dian memadukan keragaman gender dan moderasi keberagaman.
Tim juri juga memberikan dua penghargaan lain bagi pers mahasiswa, yaitu kepada Revina Annisa Fitri dari SKM Amanat UIN Walisongo dengan judul karya : Dokumenter Patok Tanpa Dialog: Perjuangan Masyarakat Rawa Pening Melawan Patok dan Ancaman
Penggusuran, serta Ahmad Arinal Haq dari Balairung UGM dengan judul karya : Hidup Mati Setelah Relokasi. Sedangkan juara favorit video direbut oleh AJI Jambi, AJI Banda Aceh, dan Aji Lhokseumawe. Masing-masing juara mendapat hadiah uang.
Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana mengatakan resepsi ulang tahun AJI ke-30 ini sengaja dilakukan di ruang publik dan tidak di hotel berbintang.
Ini adalah simbolisasi dari pesan untuk merebut kembali ruang publik yang sudah direbut oleh keluarga. “Ayo rebut ruang publik agar jangan jadi ruang keluarga,” tegas Bayu.
Bayu mengatakan peringatan ulang tahun ini juga dimeriahkan dengan pameran foto yang mendokumentasikan Proyek Strategis Nasional (PSN). Foto-foto ini merekam pengalaman pilu warga yang tertindas dan tergusur karena PSN.
BACA JUGA