Agus Gabriel

Hasilkan Berbagai Jenis Madu dari Bunga Kayu di Hutan

BALIKPAPAN, Inibalikpapan.com – Agus Gabriel warga Balikpapan yang memiliki sarang madu di Karang Joang Kilometer 23 Balikpapan Utara melakukan budidaya madu (sican) . Berbagai jenis madu yang dihasilkan.

Namun budidaya yang dilakukan secara tradisional. Tidak seperti biasanya. Berbagai madu yang dihasilkan yakni dari bunga karet warnanya kuning, bunga meranti, akasia, bangkirai hingga ulin.

Budidaya ini baru sekitar dua tahun sebelum pandemi. Ketiga itu dia berniat membangun sarang wallet. Namun rupanya, tidak berhasil. Justru lebah yang membuat sarang dan menghasilkan madu.

“Pada bulan 11 tahun 2019 saya bangun sarang wallet, 1-2 tahun gak ada isi. Begitu tahun yang ketiga eh sudah ada mulai beberapa keping sarang lebah, tapi gak ada wallet,” ujarnya berbincang-bincang dengan inibalikpapan.com.

“Akhirnya Saya cerita sama orangtua, orantua bilang madu ini melambangkan kemakmuran. Akhirnya saya kembangkan ini, lambat laun semakin berkembang sampai dengan sekarang, ini yang kita jual,” katanya mengawali ceritanya. 

Lebah yang membuat sarang dan menghasilkan madu hidup di hutan km 23 Balikpapan Utara. Lokasi dekat dengan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) karena lokasinya berdekatan. Sehingga lebah yang hasilkan madu hidup dengan memakan bunga dalam hutan.

“Madu dari bunga karet, (warna) kuning. Kalau yang madu yang hitam dari bunga ulin, bangkirai. Ada juga meranti, bunga akasia,” ujarnya.

Kata dia, jenis lebahnya sama hanya saja bunga yang dimakannya berbeda sehingga madu yang dihasilkan juga berbeda. “Lebahnya sama, tapi makannya beda. Ada yang setiap waktu (panen madu,” ucapnya. 

Namun ada juga yang panen madunya hanya setahun satu kali. Itu pun tidak banyak. Seperti lebah yang memakan bunga ulin maupun bangkirai, sehingga madunya pun berwarna hitam. Harganya lumayan mahal.

“Warga Hitam kita panen satu tahun sekali, dari kayu ulin, karena dapatnya satu tahun sekali mengikuti musim hutan, meranti, ulin berbunga satu tahun sekali,” jelasnya. 

Karena itu harganya juga berbeda. Mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 650 ribu. Madu yang dihasilkan murni tanpa ada campuran apapun.

Dia mengaku, belajar otodidak menjadi pembudidaya madu hutan. Tidak pernah belajar sama siapapun termasuk tidak menggunakan pelindung. “Karena terbiasa, kalau saya masuk gak ganggu. Kalau orang lain, anak saya masuk di kejar,” tukasnya. 

Hasil budidaya madu diberi branding dengan bahasa Dayak yakni Lun Tau yang artinya orang kita. 

Selanjutnya Agus juga membuat nama -nama produk madu yakni Kuan Tau artinya punya kita, permen madu atau Miyako (kemana kamu). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.